Jumat, 19 Agustus 2011

Catatan Batu Bedil Award 2010

A'yat Khalili

Catatan Batu Bedil Award 2010

http://www.lampungpost.com/

Metafora merupakan jalan tengah antara hal yang tak bisa dipahami dan hal-hal yang bersifat umum. (Aristoteles)

MENGGAGAS strategi kebudayaan tidak bisa bertolak dari ruang hampa. Ia harus senantiasa diperhitungkan. Terlebih lagi sinyalir para cerdik cendikia yang menyebutkan bahwa bangsa ini tengah mengalami defisit kebudayaan. Maka dalam konteks sastra, sebagai penopang struktur budaya, kegiatan yang memacu apresiasi dan kreativitas masyarakat harus pula diperhitungkan dengan bijak.

Berdasar alasan tersebut, mungkin program ini dilahirkan: Lomba Cipta Puisi Batu Bedil Award dalam rangka Festival Teluk Semaka 2010 yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus. Setiap lomba cipta puisi yang diembeli tema, kesulitan juri adalah mejadikan tema yang ditetapkan panitia sebagai pegangan. Yang menjadi dilema saat menilai sejumlah puisi untuk dipertaruhkan saat rapat dewan juri.

Satu sisi kami menghendaki yang terpilih adalah “puisi” dalam arti telah memenuhi standar estetika, tapi di sisi lain kami tak dapat menghindari pesan tematik panitia.

Hal ini juga pasti berlaku pada peserta. Mereka berlomba-lomba untuk selalu tidak lari dari tema yang ditetapkan panitia. Sehingga, sekuat kemampuan, mereka mencocok-cocokkan atau mematut-matutkan supaya puisi dapat “menyuarakan” pesan panitia. Akibatnya, ada banyak puisi yang terasa memaksakan diri hanya untuk mengurusi persoalan tema dan mengabaikan standar puisi—yakni estetika—dengan menempel nama-nama tempat, tradisi, dan seterusnya. Yang terbaca kemudian hanya keahlian “jahit-menjahit”.

Kemudian kami bekerja menilai 103 buah puisi yang diserahkan panitia dengan tetap berlandaskan tiga unsur kriteria penilaian yang disepakati bersama, yaitu kekuatan puisi, kecakapan mengolah bahasa, dan kesesuaian dengan tema. Kami pun berdebat, misalnya, ada puisi yang sebenarnya sudah jadi dan kami menduga-duga penulisnya adalah penyair yang sudah kami akrabi: puisinya kuat secara puitik, cakap mengolah bahasa. Namun, setelah kami dekati secara detail, terasa kalau puisi itu sebenarnya bermain-main di permukaan. Inilah yang disinyalir oleh Budi Darma bahwa karya sastra seharusnya tidak berpura-pura untuk membuktikan sesuatu. Karya sastra yang baik dapat mengatakan sesuatu tanpa mengatakannya.

Upaya untuk “membuktikan sesuatu”, tetapi kemudian gagal setidaknya kami temukan dalam sebuah puisi yang menganggap bahwa Pulau Panggung adalah sebagai pulau dalam arti geografis (yaitu adanya daratan di tengah perairan sebagaimana lazimnya Pulau Samosir, Pulau Seribu, Pulau Sebesi), padahal sebenarnya Pulau Panggung hanyalah wilayah kecamatan di sebuah dataran tinggi di Kabupaten Tanggamus. Meskipun dalam sastra ada yang dikenal dengan rekayasa bahasa, terhadap hal ini jelas menunjukkan betapa penulis tidak memahami kondisi geografi wilayah, terlebih lagi bukankah rekayasa bahasa pun dibuat dalam rangka mewujudkan tertib logika?

Ada pula yang penulis yang mendesakkan sekian banyak terminologi dari literatur yang dibacanya ke dalam puisi. Sebagai contoh, karena masyarakat pribumi Kabupaten Tanggamus adalah orang pesisir, maka seluruh daftar pustaka yang diketahui tentang struktur sosial masyarakat saibatin serta merta dijejalkan dalam puisi. Dan lebih mengerikan lagi-mungkin supaya terkesan intelektual- catatan kaki pun dijejerkan sepanjang mungkin dalam sebuah puisi, melebihi catatan kaki dalam buku teks Pengantar Mikrobiologi. Lagi-lagi kami teringat dengan ujaran Budi Darma: Wibawa sebuah tulisan tidak terletak pada berapa banyak teori gambar ruwet yang dipertontonkan oleh penulisnya. Sebuah tulisan yang berwibawa dapat berangkat dari common sense, dan dari common sense itulah tulisan yang berwibawa justru dapat membuahkan teori.

Meskipun demikian, akhirnya kami bisa mengumpulkan 25 puisi yang menjadi nomine sampai akhirnya, kami dapatkan tiga puisi untuk dipertaruhkan lagi menjadi peringkat I, II, dan III. Ketiga puisi itu adalah Pukau Kampung Semaka, Menjaga Cinta di Teluk Kiluan, dan Kenangan Bersama Ibu. Kami memilih tiga puisi ini mengingat puisi-puisi ini terasa jernih, sederhana (dalam arti tak mengada-ada), kesesuaian dengan tema, dan pesan yang ingin disampaikan pun terusung. Adanya unsur estetika (puitik, diksi), imaji, kesesuaian dengan tema. Penyair menghindar dari ingin menggurui, sok faham pada tema yang ditetapkan, ataupun hanya ingin bemain-main dengan olahan bahasa. Lebih jauh, justru kami melihat, pada puisi-puisi ini terkesan bahwa penyair ingin mengatakan sesuatu dengan jujur, jernih, dan tetap bekerja secara intelektual. Inilah mungkin yang disebut Aristoteles sebagai jalan tengah antara hal yang tak bisa dipahami dan hal-hal yang bersifat umum.

Lalu setiap puisi kami dedahkan dengan cermat. Misalnya kekuatan puisi Pukau Kampung Semaka. Sebagai perantau, aku lirik merasakan perubahan telah terjadi di kampungnya, seperti anjing menyalak azan! yang pada saat ia kanak-kanak mungkin hal itu tak ia temukan. Lalu, “para pendatang” sudah tidak segan lagi pada pemangku tiyuh, dan kenangan-kenangan silam seperti pada purnama orang-orang kampung menanam jimat penolak bala. Sampai pada penutup puisi, aku lirik ingin kembali membasuh muka di Sungai Semaka walaupun airnya sudah berwarna cadas. Mungkin penulis puisi ini cukup sadar akan adanya sinyal defisit kebudayaan seperti yang disampaikan di muka tulisan, sehingga si penulis mencoba mempertanyakan kembali eksistensi dirinya yang berangkat dari sebuah bangunan bernama tradisi lokal. Apakah ini semacam counter terhadap struktur budaya yang tengah dominan dan menjadi trend setter? Ada sebentuk “ideologi” yang diusung dalam puisi ini: senggikhi kutti di tanoh sinji!

Sementara peringkat kedua, puisi Menjaga Cinta di Teluk Kiluan, kami mendekati dengan cerita “sahibul hikayat” tentang asal mula nama Kiluan itu sendiri. Alkisah, Kiluan dalam bahasa pesisir berarti meminta atau mohon. Dan, Teluk Kiluan, bagi masyarakat setempat pada masa lampau dijadikan sebagai tempat permohonan antara hamba dengan Pemilik Semesta. Hal itu kami dapatkan pada bait kedua: Di lubuk yang dijaga bukit-bukit/di teluk permohonan/tak ada yang dapat kucatat/juga kugambar/selain hati yang terus bergetar/berdebar oleh angin yang berpusar/dari hulu ke hilir/seperti sebelum kukulum bibir/yang ragu mengucap rindu. Ada kenangan, ada rindu, ada pula keraguan (bimbang) tentang cinta, tentang masa silam, dan ihwal yang membuat aku lirik harus kembali ke teluk permohonan.

Lalu puisi sederhana dan terkesan jujur tapi tetap berhasrat pada tema, kami temukan pada Kenangan Bersama Ibu yang bercerita tentang air terjun Way Lalaan, yang karena kekuatan puitik dan pengolahan kata masih di bawah kedua puisi di atas. Meskipun demikian, sekiranya Pemerintah Kabupaten Tanggamus “mengutip” puisi ini untuk dijadikan prasasti pada objek wisata Way Lalaan di sana, puisi ini akan (dan sudah) bicara banyak tentang masa lalu dan masa kini juga tetap aktual di masa depan. Begitulah kekuatan puisi, yang kerap diartikan sebagai suara lain dari zaman.

Selanjutnya, demi kepentingan penerbitan buku, maka dari puisi-puisi yang telah masuk nomine, kami lanjutkan memilih 15 puisi nomine nonperingkat untuk dimuat di dalam antologi puisi yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus yang bekerja sama dengan penerbit di Yogyakarta. Puisi itu di antaranya Gambar Taman Batu (A’yat Safrana G. Khalili, Sumenep), Prasasti Batu Bedil (Budhy Setiawan, Jakarta), Bumi Begawi Jejama (Dhea Fitria Juhara, Jakarta), Batu Bedil (Dian Hartati, Bandung), Yang Berkemas di Kiluan (Dian Hartati, Bandung), Gisting (Dwi Setyo Wibowo, Yogyakarta), Tentang Kiluan (Edi Purwanto, Lampung Barat), Pantai Doa di Tubuh Kita (Faisal Syahreza, Bandung), Sepenggal Catatan Kecil untuk Perjalanan (Kemas Feri Rahman, Bogor), Sajak Sang Pemandu (Moh. Sofakul Mustaqim, Blitar), Lepas Sore Teluk Kiluan (Muh. Husen Arifin, Malang), Surat Rindu (Oky Sanjaya, Lampung), Sembilan Belas Hujan dan Sunyi Burung September (Sakti Wibowo, Jakarta), Situs Batu Bedil (Wayan Sunarta, Bali), Akulah Kiluan yang Memesona (Zanila Aqsa, Jakarta).

Pada akhirnya, lomba seperti ini—yang diselenggarakan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Lampung; mungkin juga provinsi lain—sangat berarti bagi promosi pariwisata dan budaya daerah bersangkutan. Promosi melalui sastra (cerpen ataupun puisi), lebih efektif karena dibaca banyak orang, meski belum dianggap lazim. Karena itu, apa yang dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus, Lampung ini, perlu diapreasiasi agar Teluk Semaka semakin memancarkan pukau dan pesonanya.

Salam hangat dari Kotaagung.
Dewan Juri

Ari Pahala Hutabarat
Isbedy Stiawan ZS
Jimmy Maruli Alfian


cerpen A'yat Khalili








A'yat Khalili


Cerita-Cerita yang Teralun dari Bibir Ibu

Cerpen A’yat Khalili

Ibu pun selalu bercerita padaku tentang keluarga ini; jujuk, kakek, nenek, terlebih bapak, yang paling kubayangkan sampai kini pun tak pernah ingin terhapus untuk sekedar melihatnya di dinding kamar; sebuah album tua yang beberapa waktu sempat dipajang ibu. Ketika musim kemarau tiba berkepanjangan, musim panen mulai meninggalkan kampung ini, sawah-sawah yang ditanami jagung, otok, pakau jadi kekurangan sedot air, dari Padang Ara ke hamparan Garincang, langit seolah terus berwarna merah dengan muka marah, melintasi kampung, begitu kira-kira ingatanku dulu.

Sebab seperti yang kulihat, di sinilah mula hidup keluarga kami diputar; makan-minum, sakit-sakitan, bertengkar antara tetangga, sebab tanian, bidingan, menyelimuti wajah kampung kami, siang dan malam. Bahkan tak jarang dari sebagian kami mengeluh-ngeluh dan kerap meratap sedu-sedan. Lebih dari itu, jauhnya jarak menempuh perkelokan lorong raya telah membuat tenaga tubuh sebentar konyol. Tak ada yang bisa dikais. Hingga memaksa kami hidup hanya dengan damian, menghembuskan sisa ubian.

***

Ketika itu, usiaku baru 5 tahun. Mata yang terlalu pinang untuk cukup melihat helai baju berwarna lesu yang selalu dipakai Bapak. Memang, Ibu kerap sekali bercerita, bila terkadang-kadang aku bertanya. Ketika Bapakmu meninggal, keluarga ini sangat berubah. Tak biasa Ibu menagi-nagi, pergi ke tetangga, seperti Bapakmu yang dadian[1]. Banyak Phele[2]. Dikasihi banyak orang. Kemana-mana namen solang[3]. Tanpa mimpi, beliau bahkan dapat menghimpun serumpun pukaan[4]. Lalu mata ibu terpejam. Mungkin terharu, atau paling tidak mata itu segera menitik air, entah untuk makna apa?.

Dan jika sudah begitu, aku segera mendekat padanya. Ibu memelukku. Di sana, di balik rumah tabing yang separuh terbuka, atap dan genting kolare yang sudah mulai pecah. Dan apabila langit bocor, hujan menyerbunya tanpa satir. Duniaku memang seketika hitam. Terasa berat. Hidup berdua dengan seorang perempuan di atas umur kadarnya; satu anak dan seorang ibu yang tak biasa bekerja, dengan tiba-tiba harus berlatih menahan bagaimana tangan hidup menongkis janur[5], mengaik rakara, untuk sekedar menambal kebutuhan sehari-hari.

Tak ada lakon lain yang bisa kami lakukan, sebab kami memang hanya terbatas pada pekerjaan-pekerjaan ringan semacan itu, alangkah tertatih rasanya, kecuali anak-anak kelapa itu sudah dapat digaik dan dijual ke pasar, atau di musim pakau, ketika seluruh warga menanamnya, kami kalau lagi mujur, hidup dengan pelok-pelok di kebun-kebun belakang rumah, warisan kae-nyae[6] itu. Tapi, tak mustahil gagal, karena jika sekut hujan dan angin besar, panen ini kembali tak bisa bertahan goncangan. Sehingga aku dan Ibu harus ngutang atau memilih nungkis janur.

Lalu dengan itu, ngambaaki kepada pembeli, yang datang setiap minggu sekali. Mereka membelinya dengan kepalan tanang; seharga 5 kepeng uang kerningan, yang tentu hanya cukup membeli sebungkus micin kecil. Dan kalau lagi kebetulan sedang banyak janur yang kami tungkis, kami bisa membeli serantang beras jagung, ikan panggang, dan maronggi, sementara palappa masih harus ngutang juga. Tentu, hari-hari seperti ini terus berjejak dalam lingkaran hidup kami. Tak pernah bisa diduga berjalan begitu lintas cepat. Seperti angin lewat, berlalu dan menjauh ke bebukitan Kapur di selatan, tanpa perhitungan. Lelah dan kesah. Dari pintu rumah ke halaman, waktu mengalir seperti kesek tek…tek…hujan di atap, gesekan yang tambah hari makin besar, gesekan tabing rumah yang dihempas angin Bulan Rasol.

Kadang-kadang aku terpesung; menerobos masuk ke dapur, bila hujan berlangsung, untuk melihat-lihat air yang mengucur memenuhi laci, lincak, gadang, seluruh tikar terbasahi, yang sambil terengah-engah aku dan ibu mensingkapnya. Sebab kata ibu, jika tikar-tikar itu selama 3 hari tetap dibiarkan saja tidak ditampai untuk dikeringkan akan memerah, lalu tak laku dijual.

Sedang ketika musim angin barat, tak kalah mencemaskan, rumah ini seperti kapas tersangkut ditiup, bahkan pernah kami saksikan separuh atap kami yang terdiri dari damian, terseret ke belakang rumah, lalu berbalik arah disebabkan angin kencang, disertai hujan dan kilat-kilat yang menjilat sejadi-jadinya. Membuat mata kami redup seperti kelereng yang menggelinding di amperan tanah, aku dan ibu hanya berani memasrah, untuk kemudian menangis berharap hujan dan halilintar segera reda.

***

Dari beberapa tahun itu, semenjak Bapak wafat, hidupku dan Ibu terasa sangat hanpa sekali. Kami berdua kehilangan orang yang sangat kami cintai, paling berharga jasanya. Bapak adalah manusia pertama yang kami tumpu ketergantungan hidup padanya; selama kurun waktu 7 tahun kurang lebih, ayah ibu; maksudku kae, juga nyae meninggalkan kami bertiga; Bapak, Ibu dan aku di Tanah Lempung ini, di subuh gubuk; rumah yang dianyam terbuat dari serajangan pohon bambu; suatu adat perumahan di kampung kami. Dulu, marga membidik irisan pering sebagai penutup badan rumah mereka, di atapnya disusun kilasan daun kelapa yang dianggit, orang-orang di sini menyebutnya Kolore. Mereka dapat tertidur pulas di situ karena hawanya yang teduh, selain untuk menjaga pancan hujan, mereka ingin menganggitnya untuk menjemur jagung, padi, saberang, bila musim panen sudah tiba.

Entah, sampai kemudian Bapak meninggal, dan aku makin dewasa, aku masih tak dapat memahami isyarat kae, yang dikatakan ibu padaku “ jika di suatu perkampungan terpencil, rumah-rumah beratap Kolare sudah tak ada, maka kiamat bisa segera tiba “. Sehingga kami selalu berusaha mengikati adek-adek yang mulai lamur dimakan rapreap, menggantinya tanpa harus merubah dinding dan atap, selain alasan tersebut, kami sengaja membuat rumah tabing agar tanpak teduh, bidiknya dikawas sekeliling pohon-pohon pisang, ada juga jambu air dan pohon monyet tempat biasa ibu berteduh nungkis janur dan aku sering memakani sapi, begitu juga bapak menyirati pappa di dalam kandang. Masing-masing punya kalakoan[7]. Seperti segala sesuatu yang selalu kami terima apa adanya, dari linus jendela rumah ini, kami dapat melihat gugus Bukit Garincang yang melandai-landai. Itulah juga bagian penting sisi hidup kami di sini, setelah pulang meladang di Padang Ara, aku, ibu, bapak, biasa hinggap menyabit rumput di sana, dengan bilah-bilah celurit dan pidok.

Dan sejak kecil memang aku telah biasa menemani mereka berdua, aku bisa ingat walau hanya sepintas—terkadang aku mendengar banyak sekali pangaremo bersiul dan mengkidungkan kijung Madureen[8], di situ, kata ibu—mereka adalah penyerat lahang siwalan, mereka sedang mengikati mayang-mayang untuk ditepis lahanngnya. Indah sekali rasanya, selain buat mengorek rakara, siul itu adalah penunggu angin tandang.

***

Bukannya kita juga punya pohon siwalan, Ma’ [9]? Sembari kudekati ibu. Ya Nak, kita punya, jawab ibu membelai ubunku. Apa tidak ada yang naik, kita tak mendapatinya. Aku penasaran. Ta’ nemo oreng se endak, ben pole jheu-jheu pungkana. Begitu ucap Ma’ku terus, bila terkadang aku jadi bertanya.

Angin barat sangat keras sekali, mengetuk-ngetuk tubuhku dan tubuh ibu di bukit itu. Angin barat punya istilah penting dalam penyebutan tradisi lisan kampung; karena datangnya yang tak terduga dan kencang berhembus, bahkan kuasa merobohkan pohon-pohon kurnis dan nyior. Orang-orang kampung kami akan was-was, dan tentu saja tidak ada yang akan berani melompati pohon-pohon tinggi, bila Bulan Rasol sudah mulai terentang di timur sana, pepohonan seperti rambut yang meliung-liung dari kejauhan. Ini musim yang kami takutkan untuk pelayaran, lukisan pikiran kami masih dibayang-bayangi Dam Berit yang beberapa waktu lalu terjerembab, itu terjadi setelah angin tanpak melilit dari awan yang menggelap, didorong langit buram, tinggal seperti sedang menyimpan murka.

Dan ketika ibu menjawab lagi, bahwa tak ada tukang naik, walau ada mungkin susah. Umurku masih 5 tahunan, waktu itu. Selalu berangan-angan dapat memanjati pohon kelapa. Pohon-pohon yang tumbuh di sekeliling rumah itu, kata ibu, adalah pemberian kae untukku, waktu itu umurku masih 2 tahun. Kae memberikannya padaku, agar aku punya benih pohon kelapa gading, kelak, kalau sudah dewasa.

Dan akhirnya kami biarkan saja buah-buah nyior itu mengering di atas pohonnya, pada saatnya akan jatuh jua. Lalu disumbat dengan rajang dan dijual ke pasar, hanya saja jika terlalu tua, maka harganya lebih rendah. Orang-orang yang kuasa mengalaknya sebelum buah itu jatuh berubah kulit, maka selamatlah dari penindasan harga.

Beda ketika masih ada bapak, kami bisa mengontrol kebun seminggu sekali, seperti tak ingin membiarkan lapangan itu berwarna kerak; liar dan suram dipandang, merabasinya dari rabat liar. Dan bapaklah yang naik mengambil buah-buah itu, menyumbat dan menjualnya ke pasar Bintaro, di dekat pelabuhan. Begitu cerita ibu terus, sampai kemudian aku makin dewasa. Bahkan bapakmu adalah pemajang di pelabuhan tua itu, ibu sering pergi untuk ngerem ke sana, bila bapak tak pulang-pulang selama hampir seminggu, ibu jadi penyuap sarapannya, lengkap tarnyak istimewa dibawa dari kampung. Bahkan bapakmu sering memesan, agar dimasaki pakai urap-urap, sebab bisa disesap dengan lontong. Menjelang pagi tuai, perahu-perahu pun sudah saling menjulur ke bibir pantai, merapatkan dirinya secara masing-masing, dengan dikomando beberapa manusia berbadan kuat, kemudian ditungar ke dasar pasir.

***

Di antara orang-orang yang mengacung dirinya ke atas perahu; bapak turun menenteng beberapa jaring ikan besar-besar, melihat ibu bapak segera mengusap rambutnya dan tersenyum. Hanya ini yang kuperoleh, katanya kepada ibu, sembari menyodorkan sekeranjang ikan cakalan, pindang, balida, pulus dan nus. Masih tak ada bekal lain cair, besok mungkin, katanya lagi pada ibu, karena bagi hasil jual, masih akan dihitung bersama-sama pemajang lainnya. Ibu lalu terpejam. Karena memang begitu hasil perjuangan bersama, mesti selalu dibagi bersama.

Terus, siapa yang menggantikannya bapak di sana, Ma’? Setelah bapakmu tak ada, yang ibu tahu para pemajang lainnya dilanda paceklik, dan karena harus terus-menerus membayar pajak labbuan, mereka melenyapkan diri. Entah jadi kuli, buruh, pemadung, ada juga yang kembali bertani di sawah dan berkebun. Ibu juga tak kelar, jika harus bertatih, berbalik arah pergi-pulang ke pelabuhan; harus membawa ikan, mengidarnya ke rumah-rumah, karena jarak tempuh yang terlalu jauh, maka ibu menyerah juga Cong[10], dan hanya memilih bekerja di rumah, sampai sekarang. Entah nungkis janur, ngala’ oan[11], menyabit rumput demi membubuhi kebutuhan sehari-hari denganmu. Kulihat titik air di matanya, lalu jatuh ke pipiku lagi.

***

Musim masih kemarau. Dan Ibuku masih selalu bercerita. Kampungku pun seperti terkeruk habis, di musim yang hanya tinggal rerumputan kering yang telah mengeras, di sebagian tabun terlihat ada yang menimbar air, untuk menyiram bidingan tembakau, ada untuk menyassa baju, ada entah untuk apa, mungkin menanak-meminum. Sementara di depanku masih terpajang sebuah album tua, tanpak suram, karena sudah lama tak dibersihkan kaca dan bingkainya. Foto itu ditabung ibu di kamar mungilku. Foto wajah yang gagah, sederhana, halus budi dan dermawan, itulah bapakku.

Aku bisa merasakan kerinduan padanya kini. Bila aku ingat lagi; di Padang Ara yang terbakar terik matahari itu, ketika Bapak membuatiku serangkaian jaran-jaranan dari batang daun pisang, umurku 4 tahun waktu itu. Bahkan masa sangat memenuhi perasaanku. Sebab setelahnya bapak tak pernah membuatiku mainan-mainan lagi. Dan hanya cerita-cerita yang tetap mengalun kukenangkan dari ibu. Entah, tentang rumah dan keluarga kami, di sini. Atau juga cerita-cerita tentang laut dengan pemajang-pemajangnya, tentang ladang, terlebih bapak. Dan memang selalu begitu ibu, meski sudah berkali-kali aku bertanya. Apakh Ibu tidak mau menikah lagi? Ibu tetap tidak menjawab. Tapi, aku berusaha dapat faham dengan cerita-cerita tentang bapak yang pernah disuguhkannya. Mungkin karena itulah; ibu sering bilang sangat mencintai bapak. Mencintai yang lebih dari garis takdir yang mana pun.

Dan tentu tak kan pernah aku lupa. Di umur 5 tahun itu. Aku telah kehilangan bapak. Dan turun temurun hidup kami berwasilah tukang landuk[12]. Bayangan sekolah tak pernah tanpak di hadapan mataku. Selain cerita-cerita ibu saja, ditambah keretek rumah yang sudah seperti ingin menunduk, kebutuhan pangan sehari-hari yang sering datang menanjak, jauh ketika bapak sudah sakit-sakitan, tak bisa lagi ditawar bekerja buat memenuhi kebutuhan kami sehari-hari lagi, kami terkadang hanya menangis sampai kemudian bapak meninggalkan kami di sini, di rumah tabing, di Tanah Lempung ini.

Latee, 29 Maret 2011.


[1] Suatu sifat yang menunjukkan ke tak sungkanan.

[2] Famili/ keluarga, terkadang disebut tetangga, saudara.

[3] Banyak rejekinya.

[4] Makanan, pukaan sehari-hari.

[5] Suatu pekerjaan dengan cara mengupasi daun nyior untuk makanan sapi, kambing, dan hewan ternak lain, yang dilakukan warga kampung Telenteyan turun-temurun.

[6] Kakek-nenek.

[7] Pekerjaan sehari-hari.

[8] Lagu khas madura, yang dinyanyikan dengan nada kidungan (kejung).

[9] Panggilan untuk ibu

[10] Panggilan untuk anak laki-laki.

[11] Membantu pekerjaan orang lain, dengan cara ingin mengambil ongkos atasnya.

[12] . seorang petani.


Esai A'yat Khalili






A'yat Khalili


PUISI, PENYAIR DAN PEMBACA

Oleh: A’yat Khalili*

Puisi adalah suara jiwa penyair, tentang apa yang dilihat mata, dirasa dan dicecap lidah dan kulit, apa yang dicium hidung, dipikir otak dan sesuatu apa yang disimpan hati. Eksperesi jiwa itu menghadirkan rasa indah dan rasa kagum bagi setiap manusia yang menikmatinya. Puisi adalah merupakan komunikasi langsung seorang penyair dengan alam, maka tak salah jika terkadang ia hadir menyuarakan gerak daun yang ditingkap angin, sehempas debu yang diterjang angin, atau aroma bunga yang dibawa angin dari halaman rumah. Sebab dari selain itu, puisi adalah merupakan salah satu bentuk jenis karya sastra yang dilengkapi dengan pemakaian majas, denotasi dan konotasi serta penggunaan lambang-lambang, yang terkadang bahasa yang digunakan penyair, ada yang padat, naratif, dan terdapat penghilangan sebagian tanda dan kata untuk lebih mengintensifkan puisinya.

Unsur-unsur puisi didapatkan dari pancaindra, melihat, merasakan dari apa yang terkecil sampai ke paling besar. Yang tampak sampai ke kasat mata. Seorang penyair adalah orang yang paling tertuntut kepekaan dan meresapi setiap kemungkinan dalam perasaan memahami hidup, bahasa dan peristiwa-peristiwa terhadap gejala luar biasa yang ada di alam ini. Penyair dan lingkungannya. Ia hidup dalam dunia bahasa yang tak terbatas dan tak terlepas dari sifat kolektif. Selain pribadinya yang mempunyai jiwa, masyarakat pun punya jiwa. Penyair dan masyarakat adalah ibarat anak dan ibu, yang membentuk dari akumulasi semacam interaksi dan interelasi antara keduanya. Penyair seolah berada dibuaiannya, sementara sang ibu sendiri selalu memberi berbagai macam kebutuhan anak. Karena ia dibentuk dan lahir sebagai anggota-anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosional yang terkadang juga kurang rasional dan ril. Hingga dalam hidup yang ia jejaki, ia serapi, ia renungi sebagai sebuah pengetahuan dan pengalaman pahit-manis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya itu telah bermacam-macam warna berbeda yang dapat ia hadirkan, yang tentu kemudian cukup memiliki ciri khas berbeda dan bernilai tersendiri dalam lingkungan hidupnya.

Ia tidak akan hadir dalam ruang kosong belaka, nihil makna. Melainkan puisi sebagai suara terdalam manusia sebagai sang penyair dalam mentransenden bahasa, yang dalam istilah ilmu linguistik—sebagai suatu kalimat yang tidak dapat disampaikan dengan cara lain apa pun, kecuali dalam dan oleh kalimat puisi itu sendiri. Jika kita pun bertanya, dapatkah air mata dan tangis diterjemah dengan bahasa, luka yang tersiksa mampukah ditulis. Di situ bahasa hanya menjadi bahasa. Luka pun tetap menjadi bahasa luka. Ia tak bisa menjelaskan kalimat, begitu pun kata hanya hidup dalam kata itu sendiri. Di luar itu semua—apa yang dipikirkan manusia tentang hari esok hanyalah sunyi, sunyi tak terbatas. Ironi dan abstrak. Puisi sangat penuh pekat-kental, ia sarat dengat hukum nilai, alam estetika telah menjadi tuntutan pembaca dalam mengakrabi puisi agar semakin terkesan, penuh etnik, sosia, dan religius. Yang dalam catatan ini perubahan paling kecil dalam puisi akan mengakibatkan perubahan seluruh komponen dalam rangkaian unsurnya. Hingga puisi akhirnya tidak menjadi kosong arti, dan mustahil dipisahkan dari bunyi kata yag terungkap. Dengan alasan apa pun, puisi tidak untuk diterjemah, sebab ia memang bukan untuk dipikir apalagi diterjemah dengan bahasa lainnya. Ia hanya hadir untuk memenuhi keragaman bahasa, sebagai hakikat awal mula bahasa diciptakan bagi manusia, yang lalu memunculkan dan menjelaskan banyak peristiwa bahasa untuk kemudian diolah batin dan dirasakan oleh pemahaman jiwa. Selain itu semua, hanya sebuah arti atau pengertian yang tak termaknakan.

Seorang pembaca tentunya harus benar-benar tahu dan menguasai linguistic bahasa. Dalam potret lain, harus hidup dalam dunia bahasa. Sebab jika tidak, ia sedang menghadapi besi dingin. Ketika menyentuhnya tak bakal mendapat percik apa pun, kecuali kegelapan amat sangat dan serangkaian kalimat tak bermakna. Lalu bagaimana mungkin, jika tak pernah luka akan menangis. Jika tak pernah hidup akan mati. Mendalami rasa, indera, bahasa, gerak, hingga lahir gema dalam jiwa. Sebab dalam puisi yang menentukan adalah penghayatannya. Pikiran terkadang buntu. Ia adalah batas terendah mencari pembacaan puisi. Sedang puisi sendiri puncak teratas bahasa. Octavio Paz; pernah menulis “ bila puisi menyentuh suatu bahasa apa pun maka menjadi ujaran (beku) dan seketika itu juga berhenti jadi bahasa”. Artinya sebagaimana di atas tersebut, puisi tidak dapat dibahasakan dengan cara ungkap apa pun, selain cara ungkap puisi itu sendiri, ia lahir dari gema rasa—untuk dirasakan jiwa lain, yang kehadiran itu bakal mesti jadi sangkut-paut kehidupannya menerima gema di sekitar dirinya yang menimpa.

Istilah puisi muncul dari runut kata, rasa, bunyi, gema, makna dan indera. Yang satu sama lain berpaduan—tak terpisahkan. Bekerjasama dan saling mengisi. Bahkan mustahil diceraikan keutuhannya yang membentuk ujud puisi itu sendiri. Tidak ada rupa kedua dari puisi. Puisi hanya puisi. Ia hidup sendiri. Akan tetapi dari perangkat itu, puisi bisa hadir jadi pemahaman universal, dan multitafsir. Bagi sebagian pembaca, puisi dapat dirasakan dari getaran bunyinya, sebagia lain dari kedahsyatan kata-katanya, sebagian lagi dari anaforinya, dan ada juga tak menemukannya. Namun, walau sebesar apu pun semua itu tak akan pernah sampai sebagaimana maksud penyairnya itu. Ada yang berlebih dalam pandangannya. Ada yang kewalahan mencarinya. Lebih-lebih seorang pembaca hendaklah mengetahui lingkungan juga hal ihwal proses kreatif sang penyair. Karena ini, tentu bakal membantu kuat penelitian dan pemahamannya tentang puisi-puisi Yang dibaca. Contoh kecil Sutardji CB, puisi-puisinya hanya dapat dipamahi sebagian orang yang telah benar-benar tahu dan mengenal serta membaca catatan hidup yang ia prioritaskan sebagai salah satu proses kreatifnya menulis puisi-puisi mantra kepada khalayak pembaca. Dan masih banyak …yang selanjutnya terserah pembaca mencari dan mengenal puisi secara lebih luas. Hingga kita akhirnya faham, bahwa kenikmatan puisi dan kefahamannya menjadikan manusia lebih arif dan bijak, beradab dan lembut serta selalu ingat pada momentum sendiri.

Telenteyan Longos, Gapura, 13 September 2010.


Kamis, 18 Agustus 2011

Sastra A'yat Khalili

Sastra Pesantren

oleh: Rozi
Mei 19, 2010


Tidak bisa dipungkiri bahwa perjalanan panjang eksistensi pesantren dan sastra membentuk semacam sinergi. Barangkali integrasi. Semenjak kelahirannya, pesantren telah menentukan jalan terang bagi berkembangnya dunia intelektualisme dan kesusastraan. Dalam catatan K.M. Faizi di buletin Tera, STKIP edisi II/2008 berjudul ”Akar Kepengarangan dan Susastra Di Pesantren”, didedahkan bahwa akar kesusastraan pesantren telah tumbuh dan berkembang semanjak beberapa abad silam. Pernyataan ini bisa ditengara melalui adanya metode penyerapan maupun transformasi ilmu pengetahuan yang menggunakan bentuk Nadham (syair/puisi). Nyaris, dari sekian cabang ilmu yang diajarkan di pesantren selalu menggunakan model ini. Baik berupa Fiqih, Tauhid, Qawaid Fikih sampai yang paling masyhur, yaitu Barzanji (kumpulan pujian dan doa yang diperuntukkan kepada Nabi Muhammad SAW.)

Metode ulama terdahulu yang menggunakan nadham merupakan sebuah kreatifitas prestisius yang patut dipertahankan. Secara periodis, belum pernah tercatat dalam sejarah mengenai penyampaian ilmu pengetahuan melalui syair/puisi. Paling banter seorang ilmuan merepresentasikan gagasannya melalui bentuk prosa seperti yang dilakukan oleh Albert Camus dan Nietszche. Seperti dalam karya Zarathustra dan La Paste. Selebihnya mereka hanya menggunakan bentuk tulisan konvensional.

Nah, kalau dirunut secara kronologis berarti dunia pesantren telah mengenal sastra dari dalam ranahnya sendiri, bukan dari Barat atau luar Arab. Walaupun bangsa Arab dulu pernah menimba ilmu dari Barat, tapi mereka memformat dan membuat citra tersendiri. Sehingga, yang lahir adalah karya orisinil dan termaktub sebagai hasil karya orang Arab. Secara tekstual, belum banyak ilmuan yang meneliti masalah ini, karena memang pesantren untuk masa-masa sekarang sepertinya kurang berminat menjelajahi lanskap pemikiran para pendahulunya. Mereka seperti masih menunggu uluran tangan dari luar ranah mereka. Orang-orang pesantren masih suntuk berleha-leha dengan kitab-kitabnya. Dan mereka sudah merasa cukup percaya diri dengan semua itu. Walaupun ini “sepele”, penulis kira harus ada yang peduli dan memiliki inisiatif untuk turut urun-rembuk bagaimana memproyeksikan diri mencari kekayaan khazanah terpendam yang dimiliki oleh pesantren itu sendiri. Termasuk, dalam hal ini, meneliti sejarah bagaimana sebenarnya akar susastra dipesantren telah berkembang semenjak dahulu.

Seorang esais dan cerpenis asal Jombang, Fahruddin Nasrulloh, pernah berujar dihadapan beberapa penyair pesantren Annuqayah beberapa bulan lalu. Ia mewanti-wanti untuk membentuk sebuah tim yang bertugas mencari data mengenai para penulis pesantren serta mencatat bagaimana perkembangannya dari generasi ke generasi. Karena baginya, sejarah kepenulisan sebuah kelompok masyarakat (santri) merupakan peradaban adiluhung yang sebetulnya telah dikembangkan oleh para Ulama terdahulu. Karena itu, ia patut dijaga dan terus dilestarikan. Hal ini pula sebagai penyangkalan secara tekstual bahwa pesantren bukan kumpulan orang-orang udik, kuno, kolot, fanatik, marjinal, bahkan yang lebih ekstrim dituduh sebagi sarang teroris. Ya ampun! Melalui bukti tertulis itu publik akan menarik stigma yang kini berarak menghinggapi benak-benak para masyarakat yang tidak pernah tahu pesantren itu seperti apa dan bagaimana.

Walaupun dalam aras historis belum banyak yang kepincut untuk mengembangkan secara tekstual sejarah sastra di pesantren, tetapi ghiroh untuk tetap menulis karya sastra sepertinya masih bisa diharapkan prospeknya. Terbukti dengan terbitnya tulisan S Yoga di Suara Karya, Sabtu, 7 April 2007 lalu. Dia coba mengangkat beberapa nama yang memungkinkan untuk melanjutkan kerja kreatif di dunia pesantren. Beberapa nama itu diantaranya; M. Faizi, M. zamiel El-Muttaqien, Abdul Hadi, Moh. Hamzah Azra, Edu Badrus Shaaleh, Juwairiyah Mawardi dan lain-lain (Beberapa nama saya tidak letakkan di sini karena mereka sudah berstatus alumni). Catatan S Yoga ini sebenarnya kurang begitu lengkap karena masih banyak penulis-penulis muda berbakat lainnya seperti A’yat Khalili, Kholil Tirta Paseane, Lukman Mahbubi, Rahmatin dll.

Sudah banyak karya-karya yang mereka torehkan di media lokal dan nasional. Sebagian telah mengorbitkan namanya melalui sayembara penulisan karya sastra yang bertaraf nasional. Dalam beberapa kompetisi ternyata hasil yang mereka peroleh tidak mengecewakan, bahkan beberapa diantara mereka tak jarang mendapat juara pertama. Ini merupakan hasil jerih payah yang harus disikapi positif oleh semua pihak, baik dalam internal pesantren sendiri maupun dunia luar pesantren yang peduli akan keberkembangan dunia sastra.

Namun, sepertinya ghirah pesantren untuk mengembangkan dunia sastra masih belum begitu kentara. Barangkali bisa dikata kurang mendapat perhatian serius. Kebanyakan sastrawan muda itu menyusun puzzle ketenarannya dengan jerih payah sendiri. Mereka tidak memperoleh fasilitas untuk menunjang prosesnya dalam dunia kepenyairan. Seharusnya pesantren mulai melirik kekurangan ini, hingga kelak dapat memenuhinya.

Memang menjadi seorang penyair tidak harus tergantung pada siapapun. Namun, tidak boleh tidak, mereka membutuhkan support dari orang lain. Termasuk, dalam hal ini, adalah institusi yang menaunginya; pesantren. Karena kebesaran pesantren diukur oleh bagaimana alumninya bisa berkreatifitas dan menyuntikkan nilai-nilai positif ke dalam kehidupan masyarakat. Lalu, jika pihak pesantren apatis terhadap ketimpangan ini, maka dari mana alumninya bisa menjadi insan yang diperhitungkan?

Di Sumenep, khususnya PP. Annuqayah, kekurangan vital yang dihadapi adalah tersedianya bahan pustaka yang memadai. Dari beberapa pesantren yang berdiri di Kabupaten ini amat sedikit yang menyediakan buku-buku sastra berkualitas tinggi. Kebanyakan yang ada hanya buku-buku wacana keislaman yang belakangan menjadi trend hingga muncul ikon baru bagi generasi pesantren, yaitu “Santri Baru”. Sebuah generasi yang meneriakkan wacana-wacana progresif bahkan liberal dalam pemikiran Islam. Sementara dari kalangan peminat sastra hanya mendapat sedikit porsi. Keadaan demikian tak boleh berlarut-larut, sebab kebanyakan peminat sastra yang masih pemula kadang merasa minder karena ketiadaan bahan bacaan berkualitas yang disediakan oleh perpustakaan pesantren. Akhirnya, mereka tidak mau menyuntuki dunia sastra lagi.

Disamping itu, pesantren harus mulai membenahi kantong-kantong kesusastraannya. Misalnya menghidupkan kembali diskusi-diskusi, mengutus santri-santrinya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang berbau kesusastraan, serta memfasilitasi kegiatan kompetisi kesusastraan. Sebab, selama ini kebanyakan santri masih gagap terhadap wacana-wacana baru yang berkembang di luar wilayah mereka. Santri selalu mendapat jatah terakhir menciduk gagasan-gagasan yang dilahirkan oleh pelaku sastra yang ada di luar dunia mereka.

Untuk mempersempit celah ini, saya kira saatnya pesantren membangun jaringan dengan alumni untuk senantiasa berkontribusi dalam pemenuhan kekayaan sastra yang ada di pesantren. Di beberapa media terkemuka, banyak sekali alumni pesantren yang telah menjadi seorang sastrawan yang diperhitungkan oleh jagad sastra nasional. Nah, dari mereka barangkali bisa diminta bantuan bagaimana juga turut andil membesarkan para sastrawan pesantren tempat mereka dahulu menimba ilmu.


Wallahu a’lam bi al-shawab