Minggu, 01 Mei 2011

ADA BANYAK HAL MENARI DARI PENYAIR MUDA KITA

ADA BANYAK HAL MENARI DARI PENYAIR MUDA KITA

Pengantar Kumpulan Puisi "Sebab Akulah Kata"

Oleh: Nuruddin Asyhadie

Apakah arti puisi bagi manusia hari ini? Masihkah kita membutuhkan

puisi? Bisakah kita hidup tanpa puisi?

Bagi kebanyakan orang, puisi bukan hanya telah menjadi pokok

sekunder atau tersier, ia bahkan telah terhapus dari daftar

kebutuhan. Bagi mereka puisi tak lebih dari sekumpulan kata-kata

kosong aneh, ungkapan perasaan mendayu-ndayu, atau kalimat-kalimat

putus asah penuh tanda seru, yang tak memiliki relevansi apapun

dengan kehidupan mereka, perut lapar mereka atau hasrat-hasrat akan

kelimpahan.

Mengenai pesimisme terhadap puisi, penyair Subagio Sastrowardoyo

pernah menulis dalam sebuah puisi berjudul "Sajak" yang diterbitkan

tahun 1957:

Apakah arti sajak ini

Kalau anak semalam batuk-batuk,

bau vicks dan kayuputih

melekat di kelambu

Kalau istri terus mengeluh

tentang kurang tidur, tentang

gajiku yang tekor buat

bayar dokter, bujang dan makan sehari

Kalau terbayang pantalon

sudah sebulan sobek tak terjahit

Tentu saja sebagai seorang kawi yang hidup di dalam dan bagi puisi,

Subagyo tak berhenti pada potret "ketakberdayaan" puisi di hadapan

kehidupan nyata ini (apapun yang dimaksud dengan "nyata" di sana),

dalam puisi yang sama, ia pun mengajukan sebuah jawaban:

Ah, sajak ini,

mengingatkan aku kepada langit dan mega.

Sajak ini mengingatkanku kepada kisah dan keabadian.

Sajak ini melupakanku aku kepada pisau dan tali.

Sajak ini melupakan kepada bunuh diri

Ada dua fungsi puisi yang diajukan dalam jawaban tersebut. Pertama,

puisi sebagai cermin yang merefleksikan eksistensi manusia yang

terkatung antara keilahiaan dan kemakhlukan, keabadian dan kefanaan,

beserta segenap implikasinya. Kedua, puisi sebagai hiburan, obat,

atau jalan keselamatan, tempat manusia berlari dari keputusasaan

hidup.

Persoalannya, apakah dalam kehidupan 1 GBpS sekarang ini, orang

memiliki waktu untuk bercermin? Lagi pula dunia virtual sibernetik,

tempat mimesis merupakan operasi utamanya, "cermin" dan "bercermin"

tak lagi berarti. Setiap waktu, orang dihadapkan pada cermin, dan

dalam cermin itu mereka hanya menemukan cermin yang lain. Manusia

kini hidup dalam sebuah rumah cermin tak berhingga dan abadi. Dalam

rumah cermin itu pula, keputusasaan adalah humor terlucu.

Keputusasaan adalah gejala khas kaum eksistensialis, yang selalu

berusaha menyelamatkan kekhususan dirinya, keakuannya, sementara

bagi penghuni rumah cermin itu, "aku sebagai pusat dunia"

(egosentrisme) adalah musuh besar mereka, sumber dari segala sumber

kejahatan dan kekacauan dunia. Hidup di rumah cermin itu, membuat

mereka menyadari bahwa "manusia sebagai realitas sui generis,

khusus, telah mati" dan "aku hanyalah sebuah konstruksi", sebuah

cermin lain, sehingga tidak ada alasan apapun untuk

mempertahankannya, terutama semenjak segala sesuatu yang absolut,

yang orisinal, dan yang otentik, termasuk di dalamnya masa lalu dan

masa depan yang terpersepsi telah mereka letakan dibawah tanda

silang.

Jawaban Subagyo, atau jawaban lain yang sejenis, yang memasukan hal-

hal di luar puisi sebagai alasan, hakekat, tujuan, dan fungsi

keberadaan puisi bagi kehidupan manusia baik masa lalu, kini dan

masa depan, bagaimanapun akan selalu gagal.

Untuk memahami makna dan keberadaan puisi bagi manusia, kita harus

melongok dan mengambilnya dari susuk-bilik puisi itu sendiri. Hal

ini dimungkinkan sebab pada kenyataannya puisi masih ditulis, masih

menjadi permainan utama dunia pubertas dan atau percintaan kita,

masih menjadi bagian inheren kehidupan religius kita melalui ayat,

mantra, atau puji-pujian yang dilantunkan saat beribadah, bahkan

memainkan peranan penting dalam dunia bisnis, melalui iklan.

Tampaknya puisi tak pernah benar-benar lenyap, dan hanya

menjadi "gajah di pelupuk mata yang tak kelihatan" dalam peribahasa

kita.

Terlepasnya sang gajah dari pelupuk mata menunjukan bagaimana

manusia tak dapat melihat melihat dirinya sendiri, artinya ketika

puisi menempati posisi sang gajah, kita dapat mengasumsikan bahwa

puisi memiliki hubungan khusus berkaitan dengan eksistensi manusia.

Sangat menarik menyadari bahwa puisi sebagai seni metaforik menandai

kelahiran bahasa. Apa yang menggerakan manusia berbicara atau

berkata-kata adalah hasrat-hasrat dalam dirinya, dan ekspresi

pertamanya adalah bahasa figuratif atau puitik. "Pada mulanya hanya

puisi yang terkatakan; tak ada isyarat pelogisan hingga jauh

kemudian," tulis filsuf Perancis, J.J. Rousseau dalam Essai sur

l'origine des langues. Senada dengan Rousseau, dalam Scienza Nuova,

ahli hukum Italia, Giambatista Vico menyatakan bahwa "penyair adalah

bangsa yang pertama". Dalam merespon dunia `manusia primitif' tak

bersifat kekanak-kanakan atau barbar, namun secara instingtif dan

karakteristik puitik, mereka memiliki apa yang disebut sapienza

poetica (kebijaksanaan puitik) yang menuntun respon-respon mereka

terhadap lingkungan dan menuangkannya dalam bentuk metafisika,

metaphor, simbol dan mite.

Bahasa sendiri merupakan pembeda manusia dengan makhluk lainnya,

penunjuk akan "kemanusiawian" manusia. Postmodernisme yang membawa

pembalikan ke arah bahasa secara besar-besaran dalam kehidupan kita

dewasa ini, bahkan meletakan bahasa sebagai satu-satunya sumber

eksistensi manusia. Bahasa mengkonstitusi "aku" manusia, dan

demikian juga dunia di luar dirinya. Tidak ada sesuatu di luar

bahasa, bahkan dalam diam sekalipun.

"Aku" adalah sebuah pernyataan bahasa. Pengkonstitusian "aku"

manusia dan dunia di luar dirinya melalui proses penandaan, yaitu

melalui relasi dan perbedaan dengan tanda-tanda lain,

semisal "kau", "dia", "mereka", "kita", "kami". Manusia

terkonstitusi melalui bahasa sebagai serentetan wacana, sebab bahasa

tak memiliki referensi absolut. Bahasa tak mengekspresikan "diri

sejati" yang mendahului dan tetap, namun membawa diri manusia dalam

arus kemenjadian.

Proses penandaan sudah semestinya bersifat metaforis atau puitik,

sebab di dalamnya terdapat penukaran tanda dengan tanda lainnya;

transferensi dari genus ke spesies, atau berdasarkan analogi

(Aristoteles). Jadi ketika kita mengatakan bahwa tidak ada yang

diluar bahasa, sesungguhnya pada saat itu juga tidak ada yang di

luar puisi.

Menggarisbawahi Vico, puisi adalah cara manusia merespon kehidupan.

Dengan kemampuannya mentransmutasikan tanda yang mobil dan dapat

saling dipertukarkan, puisi mampu "membekukan" realitas (baca:

bahasa) dan seketika itu pula berubah menjadi puisi. Pembekuan itu

memungkinkan masa lalu muncul kembali dan menciptakan dirinya

sendiri secara terus menerus dalam kekinian melalui momen penciptaan

dan penciptaan ulang, menulis dan membaca—sebuah aksi yang selama

ini dipikirkan secara terpisah, padahal sesungguhnya saling

mengandaikan satu sama lain dan tak terpisahkan. Hanya dengan

demikian makna tertakik, hanya dengan demikianlah manusia ada, di

luar itu hanyalah bahana atau gema dan sunyi. Sebuah ketakbermaknaan

atau ketakbernamaan, dunia Adam sebelum diajar nama-nama (kini kita

bisa menyebutnya "diajarkan puisi") oleh Tuhan.

Kesadaran semacam inilah, meski mungkin masih sederhana dan samar-

samar, yang melandasi remaja-remaja yang tergabung dalam grup teater

Kelompok Doyan Kerja (Kedok) SMA 6 Surabaya, sebuah kelompok teater

sekolahan yang sangat aktif dan disegani di kota ini karena prestasi-

prestasinya, mengadakan Lomba Cipta Puisi Pelajar se-Jawa Timur

(LCPPJT) 2007 dengan tajuk "Sebab Akulah Kata", yang karya-karya

para 6 pemenang dan 56 nominatornya dibukukan dalam kumpulan ini.

Tentu ini hasil sebuah proses yang panjang. Lebih dari 10 tahun yang

lalu kelompok ini pernah memasang sebuah baliho kain pada pohon

beringin di depan gedung sekolah mereka, bertuliskan" "Berapa harga

1 kg puisi?" Kalimat tanya itu sesungguhnya adalah judul acara

pembacaan puisi yang mereka gelar. Alih-alih mempromosikan kegiatan

tersebut, melalui baliho itu mereka mempertanyakan posisi puisi pada

khalayak. Itulah sebabnya pada bagian-bagian sebelumnya dari tulisan

ini, saya merasa perlu mendiskusikan makna puisi bagi kita hari ini.

LCPPJT 2007 ini sendiri mendapat respon yang cukup baik. Hampir 700

puisi dikirimkan ke panitia. Dari seluruh karya yang masuk, dewan

juri, yang terdiri dari Arief Santoso (redaktur sastra Jawa Pos),

penyair W. Haryanto (penyair), dan saya sendiri menominasikan 62

puisi. Selanjutnya dari jumlah itu ditentukan 6 puisi pemenang.

Sebagian besar puisi-puisi yang diikutsertakan dalam lomba ini cukup

membesarkan hati, dalam batas-batas tertentu puisi-puisi itu

menunjukan kematangan, pengetahuan yang dalam, baik perihal puisi

atau pengetahuan lain, seperti mitologi, sejarah, dan sebagainya,

serta kesadaran akan lokalitas dan fenomena sosial. Ada peningkatan

kualitas dari tahun-tahun sebelumnya. Beberapa puisi bahkan

mengejutkan dewan juri.

"Bujuk Saladi" sebuah sajak karya A’yat Khalili misalnya, yang berkisah tentang sebuah

asta (bujuk) dari seorang kyai bernama Saladi, dan melaluinya "sang

aku" (yang dalam perbincangan sastra sering disebutkan "aku lirik",

sebuah pleonasme yang mubazir, sebab lirisisme dengan sendirinya

mengandaikan keakuan) mencari kembali masa lalunya yang hilang di

bawah dorongan-dorongan utopia dan alienasi, mampu menghadirkan

dialog antara "dunia luar" dan "dunia dalam".

bukit ambar seribu malam, masih bergentayang menyerupa layar bayang

bayang

merayapi dusun, perkampungan- perkampungan bertingkah seperti ayunan

berputar menebar sampir kemenyan doa dan daun daun yang terus gagar

berlantun

memajang paras senja sore hari, lalu terdendang ke pandan lembut

ladang ladang rumput

mengabarkan syair cinta yang lama tersimpan dengan sehelai nyanyian

dari ladang tanah yang terkupas membawa kembali perburuan panjang

dimanakah jejak itu?.

masa kanakku,

Kemampuan membangun hubungan-hubungan itu, juga ditunjukan dengan

kefasihan memasukan unsur-unsur lokal (bahasa, nama tempat, nama

pohon, nama ritual di sebuah daerah) dan data-data sejarah dan

sosial yang digarap ke dalam puisi ini tanpa mengganggu keutuhannya.

Tanpa diberikan catatan kaki sekalipun pembaca tak akan terganggu

dalam menikmati puisi ini, meski ia tak tahu benar hal-hal yang

dirujuk, namun sang penyair tampak tetap merasa perlu menyajikan

referensi-referensi itu dalam sebuah catatan khusus.

Satu-dua trope (pemakaian figuratif atau metaforik atas sebuah kata

atau ekspresi) atau metafor memang terasa kabur atau berlebihan,

seperti "impian naluri yang terus terputar noktah cerita" pada bait

ke lima baris ke enam yang dikutipkan di bawah ini (cetak tebal)"

kita sudah mendayung zaman kehancuran

saling berkobar membakari beranda tua itu

tempat leluhur- leluhur dahulu bertapa meluapkan dahaga

memurungkan usia rindu berabad abad tahun penyesalan

sedang kau yang tercipta dari lambung ribuan madungan- madungan2

tanah ini

bertaruh dengan impian naluri yang terus terputar noktah cerita

sambil mendidihkan pohon pohon yang terus tumbang ke tanah asalmu

kembali

mentenung suara azad masa silam yang terbuang jauh keunjur waktu

Apakah yang dimaksud dengan kalimat ini? Dapatkan "impian"

dipasangkan atau dipadupadankan dengan "naluri"? "Impian" biasa

diartikan sebagai sesuatu yang diinginkan atau cita-cita muluk,

dan "naluri" adalah dorongan atau nafsu pembawaan yang menggerakan

untuk berbuat sesuatu. Relasi apakah yang dibayangkan si penyair

dengan memasangkan dua kata benda ini? "Naluri tentang impian"

atau "impian tentang naluri"? Dan apakah arti dari keduanya? Bahkan

jika kita membubuhkan tanda koma di belakang "impian",

sehingga "naluri yang terputar cerita" merupakan kalimat penjelas

dari kata tersebut, kita tetap tak melihat korelasi apapun. Hal lain

dari kekaburan ini adalah pemakaian bentuk pasif "terputar".

Jika "yang terputar noktah cerita" merupakan penjelas dari "naluri"

atau "impian naluri" tidakkah seharusnya bentuk yang diambil adalah

aktif, sehingga menjadi "yang terus memutar noktah cerita", atau

jika "mimpi naluri" dimaknai sebagai tempat maka sang penyair musti

kata ganti penghubung "yang" dengan "tempat"? Frasa "noktah cerita"

dalam kalimat ini juga terasa janggal. "Noktah" sering disinonimkan

dengan "titik" yang menunjuk sesuatu hal untuk memulai sesuatu atau

menandai sesuatu, atau sebuah noda. Ia adalah sesuatu yang geming,

dan tak beralur, tak memiliki runtutan waktu atau rangkaian adegan,

hanya penanda sebuah kedudukan adegan atau waktu, sebuah fase dalam

runtutan waktu atau rangkaian adegan atau sebuah cerita, oleh

karenanya ia tak mungkin diputar, berputar, atau terputar.

Di luar itu, masih akan kita temukan beberapa lagi, namun seperti

dinyatakan sebelumnya, jumlahnya hanya sedikit.

Sesuatu yang paling menarik dari "Bujuk Saladi" adalah teknik

interupsi atau seselan yang dipergunakannya. Setelah bait-bait

panjang, dengan kalimat-kalimat panjang yang hampir tak memberikan

kesempatan untuk menghela nafas, sebuah bait pendek yang terdiri

dari satu baris atau dua baris menyelingi. Ia, puisi itu, seperti

mengajak kita menyelam ke dalam air dan sesekali, dalam irama yang

tertentu, muncul ke permukaan untuk mengambil nafas. Mengaitkannya

dengan isi puisi itu sendiri, ia merepresentasikan bagaimana "aku"

yang tenggelam dalam nostalgia, dalam mimpi, sesekali terjaga, dan

hanyut kembali.

Puisi yang juga menyengat dewan juri adalah "Nol". Berbeda

dengan "Bujuk Saladi" yang memanfaatkan sejarah dan kebudayaan lokal

sebagai titik tolak kreatif, "Nol" menggali dari warisan kimia dan

fisika. Dalam puisi ini kita akan mendapati istilah-

istilah: "avogadro", "koefisien", "elektron", "atom

Rutherford", "hidro karbon", "alkuna", dan sebagainya. Hebatnya,

semua itu tak hanya menjadi tempelan. Mereka tersusun dalam jalinan

apa yang disebut oleh Octavio Paz sebagai "frase puitik" (unit ritme

minimal dari puisi, kristalisasi segi fisik dan semantik bahasa)

yang kental.

Bilangan avogadro mati

Koefisien dari segala reaksi nol, tidak tersisa

Dua linear ganjil tiba-tiba

Dan angka-angka pun tercengang kosong

Genre "puisi ilmiah" (puisi fisika, puisi matematika, puisi kimia)

dalam setra puisi Indonesia hampir atau bahkan sama sekali tak

tersentuh. Mungkin karena tingkat kesulitannya yang tinggi, karena

sang penyair dituntut, bukan hanya paham akan teori atau prinsip-

prinsip sains, tetapi juga mampu menjadikan teori-teori itu sebagai

milik pribadi hingga ia dapat menari di atasnya, bermain-main

bersamanya dan menciptakan sebuah dunia baru yang tak dapat disentuh

oleh sains itu sendiri, atau apapun.

"Nol" mampu menghadirkan itu semua. Jargon, teori, atau prinsip-

prinsip itu tak dibiarkan begitu saja menjadi diri mereka sendiri,

ia dimanfaatkan, dirubah, untuk sesuatu yang lain, yaitu chaos,

kekacauan dunia.

Konfigurasi atas semua elektron tidak terarah

Atom Rutherford terpecah gaduh

Dalam kegaduhannya, negasi menjadi gempar

Bila gugus-gugus tersebut tidak lagi dalam satu ruang

Pemakaian "atom Rutherford" pada baris kedua bait di atas,

sesungguhnya menimbulkan tanda tanya. Model Rutherford dalam ilmu

fisika dipandang kurang tepat (walaupun begitu, namanya tetap

dihormati, sebab ia membukakan mata kita bahwa atom bukanlah

partikel yang paling tunggal dan tersusun dari partikel-partikel

subatom dan membuka lapangan studi tentang struktur atom), mengapa

sang penyair tak menyebutkan "(model) atom Bohr" yang lebih akurat?

Keanehan ini juga dapat kita temukan pada logo Komisi Tenaga Atom

Amerika Serikat atau bendera Agen Internasional Tenaga Atom yang

memajang model Rutherford. Agaknya model Rutherford lebih memenuhi

imajinasi penyair mengenai struktur atom dibanding Bohr atau mungkin

ada alasan-alasan lainnya.

Jika tidak, maka sang penyair harus lebih hati-hati dalam memberikan

detail. Bukan saja karena pembaca bukanlah orang bodoh, tetapi

karena ia sedang menyusun dunia. Karena ia sedang mengucap "Kun!"

Sesuatu yang patut disayangkan dan mengganggu "kesempurnaan" puisi

ini adalah problem penalaran yang ditunjukan pada bait berikut

(cetak tebal):

Satu atom tak elakkan tuk lepaskan hidrokarbonnya

Karena mungkin alkuna akan mengganjil begitu saja

Tidak lagi sebuah ikatan rangkap tiga

Antar atom karbonnya

Kata "karena" pada baris kedua di sana rasanya tidak tepat, sebab

keberadaan kata "akan" menunjukan bahwa keganjilan alkuna adalah

kondisi di masa depan, yang akan terjadi jika syarartnya, yaitu

baris pertama, terjadi. Kata penghubung kausalitas yang seharusnya

dipakai di sini adalah "hingga".

Mutiara yang harus ditakzimi adalah pembalikan dari "jagad gede"

ke "jagad cilik" di bait terakhir puisi ini, yang dilakukan tanpa

kehilangan seluruh atmosfer keilmiahan yang dibangun semenjak bait

pertama sampai bait sebelumnya.

Teremosi atas segala transisi

Namun tidak mungkin tereaksi kembali

Jiwa ini berteriak dalam keangkuhan waktu

Yang telah satukan nol, dengan jiwa ini

Selain dua puisi ini, masih banyak lagi puisi-puisi dari lomba ini,

seperti "Thartus", "Laila Gung Cek", "Bila Billy", "Sebuah Perahu

Rapuh", "Astrolabium Elegi", "Bola-Bola Coklat", "Negeri yang

Terkoyak", dan lain-lainnya, yang menarik dan membuat dewan juri,

atau kita semua, melihat langit malam perpuisian Indonesia masa

datang terang benderang penuh gemintang warna-warni. (*)


[1_377862351m.jpg]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar