ADA BANYAK HAL MENARI DARI PENYAIR MUDA KITA
Pengantar Kumpulan Puisi "Sebab Akulah Kata"
Oleh: Nuruddin Asyhadie
Apakah arti puisi bagi manusia hari ini? Masihkah kita membutuhkan
puisi? Bisakah kita hidup tanpa puisi?
Bagi kebanyakan orang, puisi bukan hanya telah menjadi pokok
sekunder atau tersier, ia bahkan telah terhapus dari daftar
kebutuhan. Bagi mereka puisi tak lebih dari sekumpulan kata-kata
kosong aneh, ungkapan perasaan mendayu-ndayu, atau kalimat-kalimat
putus asah penuh tanda seru, yang tak memiliki relevansi apapun
dengan kehidupan mereka, perut lapar mereka atau hasrat-hasrat akan
kelimpahan.
Mengenai pesimisme terhadap puisi, penyair Subagio Sastrowardoyo
pernah menulis dalam sebuah puisi berjudul "Sajak" yang diterbitkan
tahun 1957:
Apakah arti sajak ini
Kalau anak semalam batuk-batuk,
bau vicks dan kayuputih
melekat di kelambu
Kalau istri terus mengeluh
tentang kurang tidur, tentang
gajiku yang tekor buat
bayar dokter, bujang dan makan sehari
Kalau terbayang pantalon
sudah sebulan sobek tak terjahit
Tentu saja sebagai seorang kawi yang hidup di dalam dan bagi puisi,
Subagyo tak berhenti pada potret "ketakberdayaan" puisi di hadapan
kehidupan nyata ini (apapun yang dimaksud dengan "nyata" di sana),
dalam puisi yang sama, ia pun mengajukan sebuah jawaban:
Ah, sajak ini,
mengingatkan aku kepada langit dan mega.
Sajak ini mengingatkanku kepada kisah dan keabadian.
Sajak ini melupakanku aku kepada pisau dan tali.
Sajak ini melupakan kepada bunuh diri
Ada dua fungsi puisi yang diajukan dalam jawaban tersebut. Pertama,
puisi sebagai cermin yang merefleksikan eksistensi manusia yang
terkatung antara keilahiaan dan kemakhlukan, keabadian dan kefanaan,
beserta segenap implikasinya. Kedua, puisi sebagai hiburan, obat,
atau jalan keselamatan, tempat manusia berlari dari keputusasaan
hidup.
Persoalannya, apakah dalam kehidupan 1 GBpS sekarang ini, orang
memiliki waktu untuk bercermin? Lagi pula dunia virtual sibernetik,
tempat mimesis merupakan operasi utamanya, "cermin" dan "bercermin"
tak lagi berarti. Setiap waktu, orang dihadapkan pada cermin, dan
dalam cermin itu mereka hanya menemukan cermin yang lain. Manusia
kini hidup dalam sebuah rumah cermin tak berhingga dan abadi. Dalam
rumah cermin itu pula, keputusasaan adalah humor terlucu.
Keputusasaan adalah gejala khas kaum eksistensialis, yang selalu
berusaha menyelamatkan kekhususan dirinya, keakuannya, sementara
bagi penghuni rumah cermin itu, "aku sebagai pusat dunia"
(egosentrisme) adalah musuh besar mereka, sumber dari segala sumber
kejahatan dan kekacauan dunia. Hidup di rumah cermin itu, membuat
mereka menyadari bahwa "manusia sebagai realitas sui generis,
khusus, telah mati" dan "aku hanyalah sebuah konstruksi", sebuah
cermin lain, sehingga tidak ada alasan apapun untuk
mempertahankannya, terutama semenjak segala sesuatu yang absolut,
yang orisinal, dan yang otentik, termasuk di dalamnya masa lalu dan
masa depan yang terpersepsi telah mereka letakan dibawah tanda
silang.
Jawaban Subagyo, atau jawaban lain yang sejenis, yang memasukan hal-
hal di luar puisi sebagai alasan, hakekat, tujuan, dan fungsi
keberadaan puisi bagi kehidupan manusia baik masa lalu, kini dan
masa depan, bagaimanapun akan selalu gagal.
Untuk memahami makna dan keberadaan puisi bagi manusia, kita harus
melongok dan mengambilnya dari susuk-bilik puisi itu sendiri. Hal
ini dimungkinkan sebab pada kenyataannya puisi masih ditulis, masih
menjadi permainan utama dunia pubertas dan atau percintaan kita,
masih menjadi bagian inheren kehidupan religius kita melalui ayat,
mantra, atau puji-pujian yang dilantunkan saat beribadah, bahkan
memainkan peranan penting dalam dunia bisnis, melalui iklan.
Tampaknya puisi tak pernah benar-benar lenyap, dan hanya
menjadi "gajah di pelupuk mata yang tak kelihatan" dalam peribahasa
kita.
Terlepasnya sang gajah dari pelupuk mata menunjukan bagaimana
manusia tak dapat melihat melihat dirinya sendiri, artinya ketika
puisi menempati posisi sang gajah, kita dapat mengasumsikan bahwa
puisi memiliki hubungan khusus berkaitan dengan eksistensi manusia.
Sangat menarik menyadari bahwa puisi sebagai seni metaforik menandai
kelahiran bahasa. Apa yang menggerakan manusia berbicara atau
berkata-kata adalah hasrat-hasrat dalam dirinya, dan ekspresi
pertamanya adalah bahasa figuratif atau puitik. "Pada mulanya hanya
puisi yang terkatakan; tak ada isyarat pelogisan hingga jauh
kemudian," tulis filsuf Perancis, J.J. Rousseau dalam Essai sur
l'origine des langues. Senada dengan Rousseau, dalam Scienza Nuova,
ahli hukum Italia, Giambatista Vico menyatakan bahwa "penyair adalah
bangsa yang pertama". Dalam merespon dunia `manusia primitif' tak
bersifat kekanak-kanakan atau barbar, namun secara instingtif dan
karakteristik puitik, mereka memiliki apa yang disebut sapienza
poetica (kebijaksanaan puitik) yang menuntun respon-respon mereka
terhadap lingkungan dan menuangkannya dalam bentuk metafisika,
metaphor, simbol dan mite.
Bahasa sendiri merupakan pembeda manusia dengan makhluk lainnya,
penunjuk akan "kemanusiawian" manusia. Postmodernisme yang membawa
pembalikan ke arah bahasa secara besar-besaran dalam kehidupan kita
dewasa ini, bahkan meletakan bahasa sebagai satu-satunya sumber
eksistensi manusia. Bahasa mengkonstitusi "aku" manusia, dan
demikian juga dunia di luar dirinya. Tidak ada sesuatu di luar
bahasa, bahkan dalam diam sekalipun.
"Aku" adalah sebuah pernyataan bahasa. Pengkonstitusian "aku"
manusia dan dunia di luar dirinya melalui proses penandaan, yaitu
melalui relasi dan perbedaan dengan tanda-tanda lain,
semisal "kau", "dia", "mereka", "kita", "kami". Manusia
terkonstitusi melalui bahasa sebagai serentetan wacana, sebab bahasa
tak memiliki referensi absolut. Bahasa tak mengekspresikan "diri
sejati" yang mendahului dan tetap, namun membawa diri manusia dalam
arus kemenjadian.
Proses penandaan sudah semestinya bersifat metaforis atau puitik,
sebab di dalamnya terdapat penukaran tanda dengan tanda lainnya;
transferensi dari genus ke spesies, atau berdasarkan analogi
(Aristoteles). Jadi ketika kita mengatakan bahwa tidak ada yang
diluar bahasa, sesungguhnya pada saat itu juga tidak ada yang di
luar puisi.
Menggarisbawahi Vico, puisi adalah cara manusia merespon kehidupan.
Dengan kemampuannya mentransmutasikan tanda yang mobil dan dapat
saling dipertukarkan, puisi mampu "membekukan" realitas (baca:
bahasa) dan seketika itu pula berubah menjadi puisi. Pembekuan itu
memungkinkan masa lalu muncul kembali dan menciptakan dirinya
sendiri secara terus menerus dalam kekinian melalui momen penciptaan
dan penciptaan ulang, menulis dan membacasebuah aksi yang selama
ini dipikirkan secara terpisah, padahal sesungguhnya saling
mengandaikan satu sama lain dan tak terpisahkan. Hanya dengan
demikian makna tertakik, hanya dengan demikianlah manusia ada, di
luar itu hanyalah bahana atau gema dan sunyi. Sebuah ketakbermaknaan
atau ketakbernamaan, dunia Adam sebelum diajar nama-nama (kini kita
bisa menyebutnya "diajarkan puisi") oleh Tuhan.
Kesadaran semacam inilah, meski mungkin masih sederhana dan samar-
samar, yang melandasi remaja-remaja yang tergabung dalam grup teater
Kelompok Doyan Kerja (Kedok) SMA 6 Surabaya, sebuah kelompok teater
sekolahan yang sangat aktif dan disegani di kota ini karena prestasi-
prestasinya, mengadakan Lomba Cipta Puisi Pelajar se-Jawa Timur
(LCPPJT) 2007 dengan tajuk "Sebab Akulah Kata", yang karya-karya
para 6 pemenang dan 56 nominatornya dibukukan dalam kumpulan ini.
Tentu ini hasil sebuah proses yang panjang. Lebih dari 10 tahun yang
lalu kelompok ini pernah memasang sebuah baliho kain pada pohon
beringin di depan gedung sekolah mereka, bertuliskan" "Berapa harga
1 kg puisi?" Kalimat tanya itu sesungguhnya adalah judul acara
pembacaan puisi yang mereka gelar. Alih-alih mempromosikan kegiatan
tersebut, melalui baliho itu mereka mempertanyakan posisi puisi pada
khalayak. Itulah sebabnya pada bagian-bagian sebelumnya dari tulisan
ini, saya merasa perlu mendiskusikan makna puisi bagi kita hari ini.
LCPPJT 2007 ini sendiri mendapat respon yang cukup baik. Hampir 700
puisi dikirimkan ke panitia. Dari seluruh karya yang masuk, dewan
juri, yang terdiri dari Arief Santoso (redaktur sastra Jawa Pos),
penyair W. Haryanto (penyair), dan saya sendiri menominasikan 62
puisi. Selanjutnya dari jumlah itu ditentukan 6 puisi pemenang.
Sebagian besar puisi-puisi yang diikutsertakan dalam lomba ini cukup
membesarkan hati, dalam batas-batas tertentu puisi-puisi itu
menunjukan kematangan, pengetahuan yang dalam, baik perihal puisi
atau pengetahuan lain, seperti mitologi, sejarah, dan sebagainya,
serta kesadaran akan lokalitas dan fenomena sosial. Ada peningkatan
kualitas dari tahun-tahun sebelumnya. Beberapa puisi bahkan
mengejutkan dewan juri.
"Bujuk Saladi" sebuah sajak karya A’yat Khalili misalnya, yang berkisah tentang sebuah
asta (bujuk) dari seorang kyai bernama Saladi, dan melaluinya "sang
aku" (yang dalam perbincangan sastra sering disebutkan "aku lirik",
sebuah pleonasme yang mubazir, sebab lirisisme dengan sendirinya
mengandaikan keakuan) mencari kembali masa lalunya yang hilang di
bawah dorongan-dorongan utopia dan alienasi, mampu menghadirkan
dialog antara "dunia luar" dan "dunia dalam".
bukit ambar seribu malam, masih bergentayang menyerupa layar bayang
bayang
merayapi dusun, perkampungan- perkampungan bertingkah seperti ayunan
berputar menebar sampir kemenyan doa dan daun daun yang terus gagar
berlantun
memajang paras senja sore hari, lalu terdendang ke pandan lembut
ladang ladang rumput
mengabarkan syair cinta yang lama tersimpan dengan sehelai nyanyian
dari ladang tanah yang terkupas membawa kembali perburuan panjang
dimanakah jejak itu?.
masa kanakku,
Kemampuan membangun hubungan-hubungan itu, juga ditunjukan dengan
kefasihan memasukan unsur-unsur lokal (bahasa, nama tempat, nama
pohon, nama ritual di sebuah daerah) dan data-data sejarah dan
sosial yang digarap ke dalam puisi ini tanpa mengganggu keutuhannya.
Tanpa diberikan catatan kaki sekalipun pembaca tak akan terganggu
dalam menikmati puisi ini, meski ia tak tahu benar hal-hal yang
dirujuk, namun sang penyair tampak tetap merasa perlu menyajikan
referensi-referensi itu dalam sebuah catatan khusus.
Satu-dua trope (pemakaian figuratif atau metaforik atas sebuah kata
atau ekspresi) atau metafor memang terasa kabur atau berlebihan,
seperti "impian naluri yang terus terputar noktah cerita" pada bait
ke lima baris ke enam yang dikutipkan di bawah ini (cetak tebal)"
kita sudah mendayung zaman kehancuran
saling berkobar membakari beranda tua itu
tempat leluhur- leluhur dahulu bertapa meluapkan dahaga
memurungkan usia rindu berabad abad tahun penyesalan
sedang kau yang tercipta dari lambung ribuan madungan- madungan2
tanah ini
bertaruh dengan impian naluri yang terus terputar noktah cerita
sambil mendidihkan pohon pohon yang terus tumbang ke tanah asalmu
kembali
mentenung suara azad masa silam yang terbuang jauh keunjur waktu
Apakah yang dimaksud dengan kalimat ini? Dapatkan "impian"
dipasangkan atau dipadupadankan dengan "naluri"? "Impian" biasa
diartikan sebagai sesuatu yang diinginkan atau cita-cita muluk,
dan "naluri" adalah dorongan atau nafsu pembawaan yang menggerakan
untuk berbuat sesuatu. Relasi apakah yang dibayangkan si penyair
dengan memasangkan dua kata benda ini? "Naluri tentang impian"
atau "impian tentang naluri"? Dan apakah arti dari keduanya? Bahkan
jika kita membubuhkan tanda koma di belakang "impian",
sehingga "naluri yang terputar cerita" merupakan kalimat penjelas
dari kata tersebut, kita tetap tak melihat korelasi apapun. Hal lain
dari kekaburan ini adalah pemakaian bentuk pasif "terputar".
Jika "yang terputar noktah cerita" merupakan penjelas dari "naluri"
atau "impian naluri" tidakkah seharusnya bentuk yang diambil adalah
aktif, sehingga menjadi "yang terus memutar noktah cerita", atau
jika "mimpi naluri" dimaknai sebagai tempat maka sang penyair musti
kata ganti penghubung "yang" dengan "tempat"? Frasa "noktah cerita"
dalam kalimat ini juga terasa janggal. "Noktah" sering disinonimkan
dengan "titik" yang menunjuk sesuatu hal untuk memulai sesuatu atau
menandai sesuatu, atau sebuah noda. Ia adalah sesuatu yang geming,
dan tak beralur, tak memiliki runtutan waktu atau rangkaian adegan,
hanya penanda sebuah kedudukan adegan atau waktu, sebuah fase dalam
runtutan waktu atau rangkaian adegan atau sebuah cerita, oleh
karenanya ia tak mungkin diputar, berputar, atau terputar.
Di luar itu, masih akan kita temukan beberapa lagi, namun seperti
dinyatakan sebelumnya, jumlahnya hanya sedikit.
Sesuatu yang paling menarik dari "Bujuk Saladi" adalah teknik
interupsi atau seselan yang dipergunakannya. Setelah bait-bait
panjang, dengan kalimat-kalimat panjang yang hampir tak memberikan
kesempatan untuk menghela nafas, sebuah bait pendek yang terdiri
dari satu baris atau dua baris menyelingi. Ia, puisi itu, seperti
mengajak kita menyelam ke dalam air dan sesekali, dalam irama yang
tertentu, muncul ke permukaan untuk mengambil nafas. Mengaitkannya
dengan isi puisi itu sendiri, ia merepresentasikan bagaimana "aku"
yang tenggelam dalam nostalgia, dalam mimpi, sesekali terjaga, dan
hanyut kembali.
Puisi yang juga menyengat dewan juri adalah "Nol". Berbeda
dengan "Bujuk Saladi" yang memanfaatkan sejarah dan kebudayaan lokal
sebagai titik tolak kreatif, "Nol" menggali dari warisan kimia dan
fisika. Dalam puisi ini kita akan mendapati istilah-
istilah: "avogadro", "koefisien", "elektron", "atom
Rutherford", "hidro karbon", "alkuna", dan sebagainya. Hebatnya,
semua itu tak hanya menjadi tempelan. Mereka tersusun dalam jalinan
apa yang disebut oleh Octavio Paz sebagai "frase puitik" (unit ritme
minimal dari puisi, kristalisasi segi fisik dan semantik bahasa)
yang kental.
Bilangan avogadro mati
Koefisien dari segala reaksi nol, tidak tersisa
Dua linear ganjil tiba-tiba
Dan angka-angka pun tercengang kosong
Genre "puisi ilmiah" (puisi fisika, puisi matematika, puisi kimia)
dalam setra puisi Indonesia hampir atau bahkan sama sekali tak
tersentuh. Mungkin karena tingkat kesulitannya yang tinggi, karena
sang penyair dituntut, bukan hanya paham akan teori atau prinsip-
prinsip sains, tetapi juga mampu menjadikan teori-teori itu sebagai
milik pribadi hingga ia dapat menari di atasnya, bermain-main
bersamanya dan menciptakan sebuah dunia baru yang tak dapat disentuh
oleh sains itu sendiri, atau apapun.
"Nol" mampu menghadirkan itu semua. Jargon, teori, atau prinsip-
prinsip itu tak dibiarkan begitu saja menjadi diri mereka sendiri,
ia dimanfaatkan, dirubah, untuk sesuatu yang lain, yaitu chaos,
kekacauan dunia.
Konfigurasi atas semua elektron tidak terarah
Atom Rutherford terpecah gaduh
Dalam kegaduhannya, negasi menjadi gempar
Bila gugus-gugus tersebut tidak lagi dalam satu ruang
Pemakaian "atom Rutherford" pada baris kedua bait di atas,
sesungguhnya menimbulkan tanda tanya. Model Rutherford dalam ilmu
fisika dipandang kurang tepat (walaupun begitu, namanya tetap
dihormati, sebab ia membukakan mata kita bahwa atom bukanlah
partikel yang paling tunggal dan tersusun dari partikel-partikel
subatom dan membuka lapangan studi tentang struktur atom), mengapa
sang penyair tak menyebutkan "(model) atom Bohr" yang lebih akurat?
Keanehan ini juga dapat kita temukan pada logo Komisi Tenaga Atom
Amerika Serikat atau bendera Agen Internasional Tenaga Atom yang
memajang model Rutherford. Agaknya model Rutherford lebih memenuhi
imajinasi penyair mengenai struktur atom dibanding Bohr atau mungkin
ada alasan-alasan lainnya.
Jika tidak, maka sang penyair harus lebih hati-hati dalam memberikan
detail. Bukan saja karena pembaca bukanlah orang bodoh, tetapi
karena ia sedang menyusun dunia. Karena ia sedang mengucap "Kun!"
Sesuatu yang patut disayangkan dan mengganggu "kesempurnaan" puisi
ini adalah problem penalaran yang ditunjukan pada bait berikut
(cetak tebal):
Satu atom tak elakkan tuk lepaskan hidrokarbonnya
Karena mungkin alkuna akan mengganjil begitu saja
Tidak lagi sebuah ikatan rangkap tiga
Antar atom karbonnya
Kata "karena" pada baris kedua di sana rasanya tidak tepat, sebab
keberadaan kata "akan" menunjukan bahwa keganjilan alkuna adalah
kondisi di masa depan, yang akan terjadi jika syarartnya, yaitu
baris pertama, terjadi. Kata penghubung kausalitas yang seharusnya
dipakai di sini adalah "hingga".
Mutiara yang harus ditakzimi adalah pembalikan dari "jagad gede"
ke "jagad cilik" di bait terakhir puisi ini, yang dilakukan tanpa
kehilangan seluruh atmosfer keilmiahan yang dibangun semenjak bait
pertama sampai bait sebelumnya.
Teremosi atas segala transisi
Namun tidak mungkin tereaksi kembali
Jiwa ini berteriak dalam keangkuhan waktu
Yang telah satukan nol, dengan jiwa ini
Selain dua puisi ini, masih banyak lagi puisi-puisi dari lomba ini,
seperti "Thartus", "Laila Gung Cek", "Bila Billy", "Sebuah Perahu
Rapuh", "Astrolabium Elegi", "Bola-Bola Coklat", "Negeri yang
Terkoyak", dan lain-lainnya, yang menarik dan membuat dewan juri,
atau kita semua, melihat langit malam perpuisian Indonesia masa
datang terang benderang penuh gemintang warna-warni. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar