Rabu, 14 November 2012

Artikel Anti Korupsi


HUKUM VERSUS ANTI KORUPSI;
Dekonstruksi Kesadaran dan Sosialisasi Masyarakat
Artikel KHALILI

Revolusi permanen suatu bangsa pada hakikatnya merupakan ide politik dan kekuasaan. Sejak rentang waktu manusia mulai mengenal sistem, hukum, aturan, untuk sebuah wewenang dalam historisitas, identifikasi kuasa selalu rentan akan mentalitas ekspresif-sensitif terhadap jalan pintas kekuasaan—suatu tindakan untuk memperalat jabatan atau kedudukan. Sejalan ide tersebut, politik dan demokrasi suatu negara berkembang, termasuk bagaimana sistem dan tata kelola lembaga diatur. Di negeri ini, pembuatan produk hukum lembaga dibentuk, dirancang untuk menyelenggarakan program dan mengawasi transparansi pembangunan selalu mengalami eksploitasi dari banyak kasus korupsi, termasuk bagaimana pemberantasan dilakukan seperti tidak lagi bereaksi apa pun, dibanding semakin gencarnya problematika yang semakin menyudutkan orientasi negara.
      Terlepas dari program dan strategi, dalam norma hukum, tindakan korupsi menjadi salah satu titik paling sublim dalam nalar perilaku pasif dari rusaknya integritas moral manusia, suatu tindakan yang melanggar kaidah kejujuran, mengkhianati kepercayaan dan tanggung jawab kemanusiaan. Sehingga perilaku ini tidak hanya menjadi persoalan hukum, sangsi dan peraturan semata, tetapi lebih dari itu, merupakan masalah etika politik dan kekuasaan. Sebab suatu hukum tidak akan berjalan baik, tanpa adanya penegakan kongruensi hukum—suatu kesadaran terhadap inti dan makna hukum sebagai penyelarasan moralitas yang berisi nilai-nilai keadilan dan kebenaran serta kemuliaan.
       Tetapi selama ini, kita melihat persoalan hukum dan inti hukum menjadi dua balok terpisah. Persoalan moral hukum selalu dikesampingkan dari wacana hukum. Sebab bisa jadi akar masalah (the nature of caused) dan matinya konsekuensi hukum dalam melaksanakan pelayanan publik, tidak lepas dari aspek-aspek karakter moral politik yang selama ini semakin kerdil. Sebab dalam perspektif historis, nilai dan norma sebagai fondasi hukum, berimplikasi untuk saling meneguhkan hubungan sosial, bukan semata menjadi konspirasi politik, ini yang kemudian memisahkan kultural bias (nilai-nilai moral keadilan dan kebenaran hukum UU Anti Korupsi) yang sudah dibentuk pemerintah dengan sosialisasi social practice (implementasi penegakan hukum secara progresif), sehingga menjadi kendala struktural atas tipe hukum formalistik prosedural yang sudah mengakar kurang lebih seratus tahun di negeri ini.
      Akibat dari tekanan posisi mekanisme di atas, maka perilaku kekuasaan cenderung beimplikasi pada penyalah gunaan kekuasaan (abuse of power). Tidak bisa dipungkiri, bahwa selama ini kasus korupsi dilakukan oleh banyak elit politik, penguasa dan pengemban tugas negara, ini menjadi cermin bahwa perilaku etika tidak lagi menjadi landasan budaya kerja dan standar pelaksanaan. Selain implementasi hukum yang terjadi di lingkungan birokrasi juga makin mengalami distorsi oleh para administrator politik dalam menjalankan tugasnya.
     Sejatinya, kalau kita pahami bahwa hukum dan inti hukum tidak boleh dipisah, maka dapat diketahui, bahwa fungsi kekuasaan yang baik selalu melandasi tujuannya sebagaimana norma-norma hukum yang berlaku, yang tentu lebih mengedepankan pelayanan publik. Di sini, kita temukan kembali prinsip-prinsip kepercayaan publik itu masih ada, dengan integritas penyelenggara negara dan profesionalisme yang kesemuanya berpijak pada nilai-nilai hukum yang representatif, dalam kesamaan hak, keseimbangan kerja, kewajiban, partisipasi, kepastian hukum, keterbukaan dan pelaksanaan yang mudah terjangkau.
     Dalam problematika ini, kita tidak cukup hanya terpaku pada peran lembaga, yang hanya menjalankan satu fungsi minimalnya untuk pemberantasan suatu tindakan yang bukan lagi sekedar kejahatan biasa, dalam rangka mengambil kebijakan dan menetapkan aturan, yang juga hanya mengandalkan supervisi dan penyelidikan, akan tetapi bagaimana penegakan hukum harus dimulai dengan mengubah konsep struktural terhadap managers (pihak-pihak pimpinan) semacam pelatihan, pengauditan manajemen, pemeriksaan kinerja pelaksanaan etika hukum, pemantauan, pengawasan yang semuanya memiliki integritas penuh dalam mengatur budaya kerja yang efektif dalam birokrasi publik yang beretika, terlebih bagaimana tujuan mengubah pola pikir dan budaya kerja aparatur menuju terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan aparatur pemerintah yang bersih (clean governance).
      Rekonstuksi di atas, demi menilik kondisi pelaksanaan pengelola negara, yang masih gagu memperhitungkan konsekuensi etis, yang berkualitas dan relavan, serta modalitas etika, yang tak pernah tersentuh tindakan faktual. Meski dalam kode etik pemerintahan telah dibentuk, tapi tindakan yang jelas dan konkrit masih terkonspirasi. Padahal sistem yang mempunyai peraturan konkrit, tidak akan mengesampingkan model hukum dari landasan dan ideologi bangsa, sehingga nilai-nilai pancasila mengalami marjinalisasi karena tidak lagi dijalankan oleh pemerintah kita.

Konstuksi dan Pembumian Nilai
Pertanyaannya bagaimana menumbuhkan kepedulian kita di tengah carut-marutnya persoalan bangsa ini, memberantas tindakan amoral yang hampir sudah menjadi norma, yang mengekspresikan bahwa perilaku ini sudah menjadi sikap, gerak dan prinsip serta tradisi dan budaya yang kompleks. Sehingga setiap kerusakan dari struktur budaya, hanya bisa dirombak dengan membentuk kembali konstruksi nilai, sosialisasi yang secara niscaya berakar dari kesadaran masyarakat. Salah satunya dengan peran orang tua dalam konservasi moral terhadap anak sejak dini, melalui spiritual parenting, dalam rangka mengenalkan suatu makna pelajaran pada aktivitas, kegiatan sehari-hari, misalnya, menyangkut hubungan dengan alam raya, keberadaan Tuhan, cara berdoa, beribadah, berteman dengan sikap penuh cinta dan kasih saying.
     Pendidikan di kalangan guru atau pendidik, dengan spiritual education, dalam rangka memahamkan sikap kejujuran, adil, toleransi dalam bergaul, berbuat sesuatu dengan diteladani guru sebagai penuntun dan tanpa harus menutup diri terhadap kreativitas anak untuk bertanya dan berkomunikasi. Implementasi langsung ini secara lambat laun akan membuat potensi jiwa anak penuh spiritual yang melahirkan kesadaran diri (self-awarnes), rasa memiliki, rela berkorban dan saling mencintai sesamanya.
       Sebab tanpa adanya sosialisasi pemahaman dan pengertian dalam keluarga atau masyarakat, kesadaran dan pola pikir yang baik mustahil memiliki tindakan moral dan karakter hidup. Suatu tindakan lebih banyak dipengaruhi dari apa yang dilihat dan dialami. Sehingga peran orang tua, karib kerabat, teman, guru, dan lingkungan sangat menentukan proses pembentukan nilai dan karakter, yang tentu upaya semacam ini harus senantiasa dijunjung, dirawat, ditegakkan, dikawal, dilindungi dihargai secara bersama, dalam rangka membiasakan hidup dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.
       Sementara dalam momentum otonomi daerah, sinergi yang dapat dibangun, adalah budaya reflektif, seorang pemimpin harus selalu mengevaluasi diri dari apa yang telah jadi tanggung jawab, dampak dan hasil yang telah dilakukan, melalui action the good yang mampu memberikan sentuhan kehidupan orang banyak, tegas dan kongkrit dalam sistem hukum yang telah ada, antara tujuan dan inti hukum sebagai posisi sentral perubahan yang terjadi. Di mana revitalisasi pembaharuan nilai menjadi konstruksi etika kebijakan dalam rangka pelayanan sosial yang baik dan berkarakter. Sehingga ketiga rekayasa di atas, dari peran orang tua, guru/pendidik, maupun otonomi daerah mampu mengembalikan citra hidup dengan sosialisi nilai-nilai terhadap realitas dan lingkungan masyarakat, menguatkan tradisi dan budaya yang selalu menghargai kearifan dan nilai-nilai lokal kemanusiaan, sebagai salah satu cita-cita pancasila sebagai fondasi kekuatan berdiri dan tegaknya negeri ini di masa depan...***.

Guluk-guluk, 14 November 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar