HUKUM
VERSUS ANTI KORUPSI;
Dekonstruksi
Kesadaran dan Sosialisasi Masyarakat
Artikel
KHALILI
Revolusi permanen suatu bangsa pada
hakikatnya merupakan ide politik dan kekuasaan. Sejak rentang waktu
manusia mulai mengenal sistem, hukum, aturan, untuk sebuah wewenang
dalam historisitas, identifikasi kuasa selalu rentan akan mentalitas
ekspresif-sensitif terhadap jalan pintas kekuasaan—suatu tindakan
untuk memperalat jabatan atau kedudukan. Sejalan ide tersebut,
politik dan demokrasi suatu negara berkembang, termasuk bagaimana
sistem dan tata kelola lembaga diatur. Di negeri ini, pembuatan
produk hukum lembaga dibentuk, dirancang untuk menyelenggarakan
program dan mengawasi transparansi pembangunan selalu mengalami
eksploitasi dari banyak kasus korupsi, termasuk bagaimana
pemberantasan dilakukan seperti tidak lagi bereaksi apa pun,
dibanding semakin gencarnya problematika yang semakin menyudutkan
orientasi negara.
Terlepas
dari program dan strategi, dalam norma hukum, tindakan korupsi
menjadi salah satu titik paling sublim dalam nalar perilaku pasif
dari rusaknya integritas moral manusia, suatu tindakan yang melanggar
kaidah kejujuran, mengkhianati kepercayaan dan tanggung jawab
kemanusiaan. Sehingga perilaku ini tidak hanya menjadi persoalan
hukum, sangsi dan peraturan semata, tetapi lebih dari itu, merupakan
masalah etika politik dan kekuasaan. Sebab suatu hukum tidak akan
berjalan baik, tanpa adanya penegakan kongruensi hukum—suatu
kesadaran terhadap inti dan makna hukum sebagai penyelarasan
moralitas yang berisi nilai-nilai keadilan dan kebenaran serta
kemuliaan.
Tetapi
selama ini, kita melihat persoalan hukum dan inti hukum menjadi dua
balok terpisah. Persoalan moral hukum selalu dikesampingkan dari
wacana hukum. Sebab bisa jadi akar masalah (the
nature of caused)
dan matinya konsekuensi hukum dalam melaksanakan pelayanan publik,
tidak lepas dari aspek-aspek karakter moral politik yang selama ini
semakin kerdil. Sebab dalam perspektif historis, nilai dan norma
sebagai fondasi hukum, berimplikasi untuk saling meneguhkan hubungan
sosial, bukan semata menjadi konspirasi politik, ini yang kemudian
memisahkan kultural bias (nilai-nilai moral keadilan dan kebenaran
hukum UU Anti Korupsi) yang sudah dibentuk pemerintah dengan
sosialisasi social
practice (implementasi
penegakan hukum secara progresif), sehingga menjadi kendala
struktural atas tipe hukum formalistik prosedural yang sudah mengakar
kurang lebih seratus tahun di negeri ini.
Akibat
dari tekanan posisi mekanisme di atas, maka perilaku kekuasaan
cenderung beimplikasi pada penyalah gunaan kekuasaan (abuse
of power). Tidak
bisa dipungkiri, bahwa selama ini kasus korupsi dilakukan oleh banyak
elit politik, penguasa dan pengemban tugas negara, ini menjadi cermin
bahwa perilaku etika tidak lagi menjadi landasan budaya kerja dan
standar pelaksanaan. Selain implementasi hukum yang terjadi di
lingkungan birokrasi juga makin mengalami distorsi oleh para
administrator politik dalam menjalankan tugasnya.
Sejatinya,
kalau kita pahami bahwa hukum dan inti hukum tidak boleh dipisah,
maka dapat diketahui, bahwa fungsi kekuasaan yang baik selalu
melandasi tujuannya sebagaimana norma-norma hukum yang berlaku, yang
tentu lebih mengedepankan pelayanan publik. Di sini, kita temukan
kembali prinsip-prinsip kepercayaan publik itu masih ada, dengan
integritas penyelenggara negara dan profesionalisme yang kesemuanya
berpijak pada nilai-nilai hukum yang representatif, dalam kesamaan
hak, keseimbangan kerja, kewajiban, partisipasi, kepastian hukum,
keterbukaan dan pelaksanaan yang mudah terjangkau.
Dalam
problematika ini, kita tidak cukup hanya terpaku pada peran lembaga,
yang hanya menjalankan satu fungsi minimalnya untuk pemberantasan
suatu tindakan yang bukan lagi sekedar kejahatan biasa, dalam rangka
mengambil kebijakan dan menetapkan aturan, yang juga hanya
mengandalkan supervisi dan penyelidikan, akan tetapi bagaimana
penegakan hukum harus dimulai dengan mengubah konsep struktural
terhadap managers
(pihak-pihak
pimpinan) semacam pelatihan, pengauditan manajemen, pemeriksaan
kinerja pelaksanaan etika hukum, pemantauan, pengawasan yang semuanya
memiliki integritas penuh dalam mengatur budaya kerja yang efektif
dalam birokrasi publik yang beretika, terlebih bagaimana tujuan
mengubah pola pikir dan budaya kerja aparatur menuju terwujudnya tata
kelola pemerintahan yang baik (good
governance) dan
aparatur pemerintah yang bersih (clean
governance).
Rekonstuksi
di atas, demi menilik kondisi pelaksanaan pengelola negara, yang
masih gagu memperhitungkan konsekuensi etis, yang berkualitas dan
relavan, serta modalitas etika, yang tak pernah tersentuh tindakan
faktual. Meski dalam kode etik pemerintahan telah dibentuk, tapi
tindakan yang jelas dan konkrit masih terkonspirasi. Padahal sistem
yang mempunyai peraturan konkrit, tidak akan mengesampingkan model
hukum dari landasan dan ideologi bangsa, sehingga nilai-nilai
pancasila mengalami marjinalisasi karena tidak lagi dijalankan oleh
pemerintah kita.
Konstuksi
dan Pembumian Nilai
Pertanyaannya bagaimana menumbuhkan
kepedulian kita di tengah carut-marutnya persoalan bangsa ini,
memberantas tindakan amoral yang hampir sudah menjadi norma, yang
mengekspresikan bahwa perilaku ini sudah menjadi sikap, gerak dan
prinsip serta tradisi dan budaya yang kompleks. Sehingga setiap
kerusakan dari struktur budaya, hanya bisa dirombak dengan membentuk
kembali konstruksi nilai, sosialisasi yang secara niscaya berakar
dari kesadaran masyarakat. Salah satunya dengan peran orang tua dalam
konservasi moral terhadap anak sejak dini, melalui spiritual
parenting, dalam
rangka mengenalkan suatu makna pelajaran pada aktivitas, kegiatan
sehari-hari, misalnya, menyangkut hubungan dengan alam raya,
keberadaan Tuhan, cara berdoa, beribadah, berteman dengan sikap penuh
cinta dan kasih saying.
Pendidikan
di kalangan guru atau pendidik, dengan spiritual
education, dalam
rangka memahamkan sikap kejujuran, adil, toleransi dalam bergaul,
berbuat sesuatu dengan diteladani guru sebagai penuntun dan tanpa
harus menutup diri terhadap kreativitas anak untuk bertanya dan
berkomunikasi. Implementasi langsung ini secara lambat laun akan
membuat potensi jiwa anak penuh spiritual yang melahirkan kesadaran
diri (self-awarnes),
rasa memiliki, rela berkorban dan saling mencintai sesamanya.
Sebab
tanpa adanya sosialisasi pemahaman dan pengertian dalam keluarga atau
masyarakat, kesadaran dan pola pikir yang baik mustahil memiliki
tindakan moral dan karakter hidup. Suatu tindakan lebih banyak
dipengaruhi dari apa yang dilihat dan dialami. Sehingga peran orang
tua, karib kerabat, teman, guru, dan lingkungan sangat menentukan
proses pembentukan nilai dan karakter, yang tentu upaya semacam ini
harus senantiasa dijunjung, dirawat, ditegakkan, dikawal, dilindungi
dihargai secara bersama, dalam rangka membiasakan hidup dengan
nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Sementara
dalam momentum otonomi daerah, sinergi yang dapat dibangun, adalah
budaya reflektif, seorang pemimpin harus selalu mengevaluasi diri
dari apa yang telah jadi tanggung jawab, dampak dan hasil yang telah
dilakukan, melalui action
the good yang mampu
memberikan sentuhan kehidupan orang banyak, tegas dan kongkrit dalam
sistem hukum yang telah ada, antara tujuan dan inti hukum sebagai
posisi sentral perubahan yang terjadi. Di mana revitalisasi
pembaharuan nilai menjadi konstruksi etika kebijakan dalam rangka
pelayanan sosial yang baik dan berkarakter. Sehingga ketiga rekayasa
di atas, dari peran orang tua, guru/pendidik, maupun otonomi daerah
mampu mengembalikan citra hidup dengan sosialisi nilai-nilai terhadap
realitas dan lingkungan masyarakat, menguatkan tradisi dan budaya
yang selalu menghargai kearifan dan nilai-nilai lokal kemanusiaan,
sebagai salah satu cita-cita pancasila sebagai fondasi kekuatan
berdiri dan tegaknya negeri ini di masa depan...***.
Guluk-guluk,
14 November 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar