
Sebab Akulah Kata

Posted on Thursday, November 08 @ 03:32:49 EST by redaksi
Esai: Nuruddin Asyhadie*
Apakah arti puisi bagi manusia hari ini? Masihkah kita membutuhkan puisi? Bisakah kita hidup tanpa puisi?
Bagi kebanyakan orang, puisi bukan hanya telah menjadi pokok sekunder atau tersier, ia bahkan telah terhapus dari daftar kebutuhan. Bagi mereka puisi tak lebih dari sekumpulan kata-kata kosong aneh, ungkapan perasaan mendayu-ndayu, atau kalimat-kalimat putus asah penuh tanda seru, yang tak memiliki relevansi apapun dengan kehidupan mereka, perut lapar mereka atau hasrat-hasrat akan kelimpahan.
Mengenai pesimisme terhadap puisi, penyair Subagio Sastrowardoyo pernah menulis dalam sebuah puisi berjudul “Sajak” yang diterbitkan tahun 1957:
Apakah arti sajak ini
Kalau anak semalam batuk-batuk,
bau vicks dan kayuputih
melekat di kelambu
Kalau istri terus mengeluh
tentang kurang tidur, tentang
gajiku yang tekor
buat bayar dokter, bujang dan makan sehari
Kalau terbayang pantalon
sudah sebulan sobek tak terjahit …
Tentu saja sebagai seorang kawi yang hidup di dalam dan bagi puisi, Subagyo tak berhenti pada potret “ketakberdayaan” puisi di hadapan kehidupan nyata ini (apapun yang dimaksud dengan “nyata” di sana), dalam puisi yang sama, ia pun mengajukan sebuah jawaban:
Ah, sajak ini,
mengingatkan aku kepada langit dan mega.
Sajak ini mengingatkanku kepada kisah dan keabadian.
Sajak ini melupakanku aku kepada pisau dan tali.
Sajak ini melupakan kepada bunuh diri
Ada dua fungsi puisi yang diajukan dalam jawaban tersebut. Pertama, puisi sebagai cermin yang merefleksikan eksistensi manusia yang terkatung antara keilahiaan dan kemakhlukan, keabadian dan kefanaan, beserta segenap implikasinya. Kedua, puisi sebagai hiburan, obat, atau jalan keselamatan, tempat manusia berlari dari keputusasaan hidup.
Persoalannya, apakah dalam kehidupan 1 GB (bukan lagi 1000 km/jam seperti kata Chairil) sekarang ini, orang memiliki waktu untuk bercermin? Lagi pula dunia virtual sibernetik, tempat mimesis merupakan operasi utamanya, “cermin” dan “bercermin” tak lagi berarti. Setiap waktu, orang dihadapkan pada cermin, dan dalam cermin itu mereka hanya menemukan cermin yang lain. Manusia kini hidup dalam sebuah rumah cermin tak berhingga dan abadi. Dalam rumah cermin itu pula, keputusasaan adalah humor terlucu. Keputusasaan adalah gejala khas kaum eksistensialis, yang selalu berusaha menyelamatkan kekhususan dirinya, keakuannya, sementara bagi penghuni rumah cermin itu, “aku sebagai pusat dunia” (egosentrisme) adalah musuh besar mereka, sumber dari segala sumber kejahatan dan kekacauan dunia. Hidup di rumah cermin itu, membuat mereka menyadari bahwa “manusia sebagai realitas sui generis, khusus, telah mati” dan “aku hanyalah sebuah konstruksi”, sebuah cermin lain, sehingga tidak ada alasan apapun untuk mempertahankannya, terutama semenjak segala sesuatu yang absolut, yang orisinal, dan yang otentik, termasuk di dalamnya masa lalu dan masa depan yang terpersepsi telah mereka letakan dibawah tanda silang.
Jawaban Subagyo, atau jawaban lain yang sejenis, yang memasukan hal-hal di luar puisi sebagai alasan, hakekat, tujuan, dan fungsi keberadaan puisi bagi kehidupan manusia baik masa lalu, kini dan masa depan, bagaimanapun akan selalu gagal.
Untuk memahami makna dan keberadaan puisi bagi manusia, kita harus melongok dan mengambilnya dari susuk-bilik puisi itu sendiri. Hal ini dimungkinkan sebab pada kenyataannya puisi masih ditulis, masih menjadi permainan utama dunia pubertas dan atau percintaan kita, masih menjadi bagian inheren kehidupan religius kita melalui ayat, mantra, atau puji-pujian yang dilantunkan saat beribadah, bahkan memainkan peranan penting dalam dunia bisnis, melalui iklan. Tampaknya puisi tak pernah benar-benar lenyap, dan hanya menjadi “gajah di pelupuk mata yang tak kelihatan” dalam peribahasa kita.
Terlepasnya sang gajah dari pelupuk mata menunjukan bagaimana manusia tak dapat melihat melihat dirinya sendiri, artinya ketika puisi menempati posisi sang gajah, kita dapat mengasumsikan bahwa puisi memiliki hubungan khusus berkaitan dengan eksistensi manusia.
Sangat menarik menyadari bahwa puisi sebagai seni metaforik menandai kelahiran bahasa. Apa yang menggerakan manusia berbicara atau berkata-kata adalah hasrat-hasrat dalam dirinya, dan ekspresi pertamanya adalah bahasa figuratif atau puitik. “Pada mulanya hanya puisi yang terkatakan; tak ada isyarat pelogisan hingga jauh kemudian,” tulis filsuf Perancis, J.J. Rousseau dalam Essai sur l’origine des langues. Senada dengan Rousseau, dalam Scienza Nuova, ahli hukum Italia, Giambatista Vico menyatakan bahwa “penyair adalah bangsa yang pertama”. Dalam merespon dunia ‘manusia primitif’ tak bersifat kekanak-kanakan atau barbar, namun secara instingtif dan karakteristik puitik, mereka memiliki apa yang disebut sapienza poetica (kebijaksanaan puitik) yang menuntun respon-respon mereka terhadap lingkungan dan menuangkannya dalam bentuk metafisika, metaphor, simbol dan mite. Bahasa sendiri merupakan pembeda manusia dengan makhluk lainnya, penunjuk akan “kemanusiawian” manusia. Postmodernisme yang membawa pembalikan ke arah bahasa secara besar-besaran dalam kehidupan kita dewasa ini, bahkan meletakan bahasa sebagai satu-satunya sumber eksistensi manusia. Bahasa mengkonstitusi “aku” manusia, dan demikian juga dunia di luar dirinya. Tidak ada sesuatu di luar bahasa, bahkan dalam diam sekalipun. “Aku” adalah sebuah pernyataan bahasa. Pengkonstitusian “aku” manusia dan dunia di luar dirinya melalui proses penandaan, yaitu melalui relasi dan perbedaan dengan tanda-tanda lain, semisal “kau”, “dia”, “mereka”, “kita”, “kami”. Manusia terkonstitusi melalui bahasa sebagai serentetan wacana, sebab bahasa tak memiliki referensi absolut. Bahasa tak mengekspresikan “diri sejati” yang mendahului dan tetap, namun membawa diri manusia dalam arus kemenjadian. Proses penandaan sudah semestinya bersifat metaforis atau puitik, sebab di dalamnya terdapat penukaran tanda dengan tanda lainnya; transferensi dari genus ke spesies, atau berdasarkan analogi (Aristoteles). Jadi ketika kita mengatakan bahwa tidak ada yang diluar bahasa, sesungguhnya pada saat itu juga tidak ada yang di luar puisi. Menggarisbawahi Vico, puisi adalah cara manusia merespon kehidupan. Dengan kemampuannya mentransmutasikan tanda yang mobil dan dapat saling dipertukarkan, puisi mampu “membekukan” realitas (baca: bahasa) dan seketika itu pula berubah menjadi puisi. Pembekuan itu memungkinkan masa lalu muncul kembali dan menciptakan dirinya sendiri secara terus menerus dalam kekinian melalui momen penciptaan dan penciptaan ulang, menulis dan membaca—sebuah aksi yang selama ini dipikirkan secara terpisah, padahal sesungguhnya saling mengandaikan satu sama lain dan tak terpisahkan. Hanya dengan demikian makna tertakik, hanya dengan demikianlah manusia ada, di luar itu hanyalah bahana atau gema dan sunyi. Sebuah ketakbermaknaan atau ketakbernamaan, dunia Adam sebelum diajar nama-nama (kini kita bisa menyebutnya “diajarkan puisi”) oleh Tuhan. Kesadaran semacam inilah, meski mungkin masih sederhana dan samar-samar, yang melandasi remaja-remaja yang tergabung dalam grup teater Kelompok Doyan Kerja (Kedok) SMA 6 Surabaya, sebuah kelompok teater sekolahan yang sangat aktif dan disegani di kota ini karena prestasi-prestasinya, mengadakan Lomba Cipta Puisi Pelajar se-Jawa Timur (LCPPJT) 2007 dengan tajuk “Sebab Akulah Kata”, yang karya-karya para 6 pemenang dan 56 nominatornya dibukukan dalam kumpulan ini. Tentu ini hasil sebuah proses yang panjang. Lebih dari 10 tahun yang lalu kelompok ini pernah memasang sebuah baliho kain pada pohon beringin di depan gedung sekolah mereka, bertuliskan” “Berapa harga 1 kg puisi?” Kalimat tanya itu sesungguhnya adalah judul acara pembacaan puisi yang mereka gelar. Alih-alih mempromosikan kegiatan tersebut, melalui baliho itu mereka mempertanyakan posisi puisi pada khalayak. Itulah sebabnya pada bagian-bagian sebelumnya dari tulisan ini, saya merasa perlu mendiskusikan makna puisi bagi kita hari ini. LCPPJT 2007 ini sendiri mendapat respon yang cukup baik. Hampir 700 puisi dikirimkan ke panitia. Dari seluruh karya yang masuk, dewan juri, yang terdiri dari Arief Santoso (redaktur sastra Jawa Pos), penyair W. Haryanto (penyair), dan saya sendiri menominasikan 62 puisi. Selanjutnya dari jumlah itu ditentukan 6 puisi pemenang. Sebagian besar puisi-puisi yang diikutsertakan dalam lomba ini cukup membesarkan hati, dalam batas-batas tertentu puisi-puisi itu menunjukan kematangan, pengetahuan yang dalam, baik perihal puisi atau pengetahuan lain, seperti mitologi, sejarah, dan sebagainya, serta kesadaran akan lokalitas dan fenomena sosial. Ada peningkatan kualitas dari tahun-tahun sebelumnya. Beberapa puisi bahkan mengejutkan dewan juri. “Bujuk Saladi” misalnya, sebuah sajak yang berkisah tentang sebuah asta (bujuk) dari seorang kyai bernama Saladi, dan melaluinya “sang aku” (yang dalam perbincangan sastra sering disebutkan “aku lirik”, sebuah pleonasme yang mubazir, sebab lirisisme dengan sendirinya mengandaikan keakuan) mencari kembali masa lalunya yang hilang di bawah dorongan-dorongan utopia dan alienasi, mampu menghadirkan dialog antara “dunia luar” dan “dunia dalam”.
bukit ambar seribu malam, masih bergentayang menyerupa layar bayang bayang
merayapi dusun, perkampungan- perkampungan bertingkah seperti ayunan
berputar menebar sampir kemenyan doa dan daun daun yang terus gagar berlantun
memajang paras senja sore hari, lalu terdendang ke pandan lembut ladang ladang rumput mengabarkan syair cinta yang lama tersimpan dengan sehelai nyanyian
dari ladang tanah yang terkupas membawa kembali perburuan panjang
dimanakah jejak itu?.
masa kanakku,
Kemampuan membangun hubungan-hubungan itu, juga ditunjukan dengan kefasihan memasukan unsur-unsur lokal (bahasa, nama tempat, nama pohon, nama ritual di sebuah daerah) dan data-data sejarah dan sosial yang digarap ke dalam puisi ini tanpa mengganggu keutuhannya. Tanpa diberikan catatan kaki sekalipun pembaca tak akan terganggu dalam menikmati puisi ini, meski ia tak tahu benar hal-hal yang dirujuk, namun sang penyair tampak tetap merasa perlu menyajikan referensi-referensi itu dalam sebuah catatan khusus. Satu-dua trope (pemakaian figuratif atau metaforik atas sebuah kata atau ekspresi) atau metafor memang terasa kabur atau berlebihan, seperti “impian naluri yang terus terputar noktah cerita” pada bait ke lima baris ke enam yang dikutipkan di bawah ini (cetak tebal)”
kita sudah mendayung zaman kehancuran
saling berkobar membakari beranda tua itu
tempat leluhur- leluhur dahulu bertapa meluapkan dahaga
memurungkan usia rindu berabad abad tahun penyesalan
sedang kau yang tercipta dari lambung ribuan madungan- madungan2 tanah ini
bertaruh dengan impian naluri yang terus terputar noktah cerita
sambil mendidihkan pohon pohon yang terus tumbang
ke tanah asalmu kembali mentenung suara azad masa silam
yang terbuang jauh keunjur waktu
Apakah yang dimaksud dengan kalimat ini? Dapatkan “impian” dipasangkan atau dipadupadankan dengan “naluri”? “Impian” biasa diartikan sebagai sesuatu yang diinginkan atau cita-cita muluk, dan “naluri” adalah dorongan atau nafsu pembawaan yang menggerakan untuk berbuat sesuatu. Relasi apakah yang dibayangkan si penyair dengan memasangkan dua kata benda ini? “Naluri tentang impian” atau “impian tentang naluri”? Dan apakah arti dari keduanya? Bahkan jika kita membubuhkan tanda koma di belakang “impian”, sehingga “naluri yang terputar cerita” merupakan kalimat penjelas dari kata tersebut, kita tetap tak melihat korelasi apapun. Hal lain dari kekaburan ini adalah pemakaian bentuk pasif “terputar”. Jika “yang terputar noktah cerita” merupakan penjelas dari “naluri” atau “impian naluri” tidakkah seharusnya bentuk yang diambil adalah aktif, sehingga menjadi “yang terus memutar noktah cerita”, atau jika “mimpi naluri” dimaknai sebagai tempat maka sang penyair musti kata ganti penghubung “yang” dengan “tempat”? Frasa “noktah cerita” dalam kalimat ini juga terasa janggal. “Noktah” sering disinonimkan dengan “titik” yang menunjuk sesuatu hal untuk memulai sesuatu atau menandai sesuatu, atau sebuah noda. Ia adalah sesuatu yang geming, dan tak beralur, tak memiliki runtutan waktu atau rangkaian adegan, hanya penanda sebuah kedudukan adegan atau waktu, sebuah fase dalam runtutan waktu atau rangkaian adegan atau sebuah cerita, oleh karenanya ia tak mungkin diputar, berputar, atau terputar. Di luar itu, masih akan kita temukan beberapa lagi, namun seperti dinyatakan sebelumnya, jumlahnya hanya sedikit. Sesuatu yang paling menarik dari “Bujuk Saladi” adalah teknik interupsi atau seselan yang dipergunakannya. Setelah bait-bait panjang, dengan kalimat-kalimat panjang yang hampir tak memberikan kesempatan untuk menghela nafas, sebuah bait pendek yang terdiri dari satu baris atau dua baris menyelingi. Ia, puisi itu, seperti mengajak kita menyelam ke dalam air dan sesekali, dalam irama yang tertentu, muncul ke permukaan untuk mengambil nafas. Mengaitkannya dengan isi puisi itu sendiri, ia merepresentasikan bagaimana “aku” yang tenggelam dalam nostalgia, dalam mimpi, sesekali terjaga, dan hanyut kembali. Puisi yang juga menyengat dewan juri adalah “Nol”. Berbeda dengan “Bujuk Saladi” yang memanfaatkan sejarah dan kebudayaan lokal sebagai titik tolak kreatif, “Nol” menggali dari warisan kimia dan fisika. Dalam puisi ini kita akan mendapati istilah-istilah: “avogadro”, “koefisien”, “elektron”, “atom Rutherford”, “hidro karbon”, “alkuna”, dan sebagainya. Hebatnya, semua itu tak hanya menjadi tempelan. Mereka tersusun dalam jalinan apa yang disebut oleh Octavio Paz sebagai “frase puitik” (unit ritme minimal dari puisi, kristalisasi segi fisik dan semantik bahasa) yang kental. Bilangan avogadro mati Koefisien dari segala reaksi nol, tidak tersisa Dua linear ganjil tiba-tiba Dan angka-angka pun tercengang kosong Genre “puisi ilmiah” (puisi fisika, puisi matematika, puisi kimia) dalam setra puisi Indonesia hampir atau bahkan sama sekali tak tersentuh. Mungkin karena tingkat kesulitannya yang tinggi, karena sang penyair dituntut, bukan hanya paham akan teori atau prinsip-prinsip sains, tetapi juga mampu menjadikan teori-teori itu sebagai milik pribadi hingga ia dapat menari di atasnya, bermain-main bersamanya dan menciptakan sebuah dunia baru yang tak dapat disentuh oleh sains itu sendiri, atau apapun. “Nol” mampu menghadirkan itu semua. Jargon, teori, atau prinsip-prinsip itu tak dibiarkan begitu saja menjadi diri mereka sendiri, ia dimanfaatkan, dirubah, untuk sesuatu yang lain, yaitu chaos, kekacauan dunia. Konfigurasi atas semua elektron tidak terarah Atom Rutherford terpecah gaduh Dalam kegaduhannya, negasi menjadi gempar Bila gugus-gugus tersebut tidak lagi dalam satu ruang Pemakaian “atom Rutherford” pada baris kedua bait di atas, sesungguhnya menimbulkan tanda tanya. Model Rutherford dalam ilmu fisika dipandang kurang tepat (walaupun begitu, namanya tetap dihormati, sebab ia membukakan mata kita bahwa atom bukanlah partikel yang paling tunggal dan tersusun dari partikel-partikel subatom dan membuka lapangan studi tentang struktur atom), mengapa sang penyair tak menyebutkan “(model) atom Bohr” yang lebih akurat? Keanehan ini juga dapat kita temukan pada logo Komisi Tenaga Atom Amerika Serikat atau bendera Agen Internasional Tenaga Atom yang memajang model Rutherford. Agaknya model Rutherford lebih memenuhi imajinasi penyair mengenai struktur atom dibanding Bohr atau mungkin ada alasan-alasan lainnya. Jika tidak, maka sang penyair harus lebih hati-hati dalam memberikan detail. Bukan saja karena pembaca bukanlah orang bodoh, tetapi karena ia sedang menyusun dunia. Karena ia sedang mengucap “Kun!” Sesuatu yang patut disayangkan dan mengganggu “kesempurnaan” puisi ini adalah problem penalaran yang ditunjukan pada bait berikut (cetak tebal): Satu atom tak elakkan tuk lepaskan hidrokarbonnya Karena mungkin alkuna akan mengganjil begitu saja Tidak lagi sebuah ikatan rangkap tiga Antar atom karbonnya Kata "karena" pada baris kedua di sana rasanya tidak tepat, sebab keberadaan kata “akan” menunjukan bahwa keganjilan alkuna adalah kondisi di masa depan, yang akan terjadi jika syarartnya, yaitu baris pertama, terjadi. Kata penghubung kausalitas yang seharusnya dipakai di sini adalah "hingga". Mutiara yang harus ditakzimi adalah pembalikan dari “jagad gede” ke “jagad cilik” di bait terakhir puisi ini, yang dilakukan tanpa kehilangan seluruh atmosfer keilmiahan yang dibangun semenjak bait pertama sampai bait sebelumnya. Teremosi atas segala transisi Namun tidak mungkin tereaksi kembali Jiwa ini berteriak dalam keangkuhan waktu Yang telah satukan nol, dengan jiwa ini Selain dua puisi ini, masih banyak lagi puisi-puisi dari lomba ini, seperti “Thartus”, “Laila Gung Cek”, “Bila Billy”, “Sebuah Perahu Rapuh”, “Astrolabium Elegi”, “Bola-Bola Coklat”, “Negeri yang Terkoyak”, dan lain-lainnya, yang menarik dan membuat dewan juri, atau kita semua, melihat langit malam perpuisian Indonesia masa datang terang benderang penuh gemintang warna-warni. (*)
* Nuruddin Asyhadi, penyair dan komentator sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar